Tuesday, December 25, 2007

Televisi Berjaringan dan TV Lokal

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/25/jateng/58658.htm

Sabtu, 25 Agustus 2007

Jalan Terjal Televisi Berjaringan

Oleh Iswandi Syahputra

Bisa jadi, siapa pun saat ini yang bergerak dalam industri televisi swasta pasti berdebar menunggu keputusan Komisi Penyiaran Indonesia tentang sistem siaran berjaringan. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 telah mengamanatkan kepada KPI untuk menyusun sistem siaran berjaringan bagi lembaga penyiaran swasta untuk siap menjalankan sistem berjaringan pada Januari 2008.

Membahas model sistem siaran berjaringan (SSB), khususnya televisi swasta, memang cukup rumit dan pelik. Bukan hanya persoalan bagaimana model berjaringannya saja, tapi menyangkut kepemilikan dan produksi siaran lokal. Semakin rumit kemudian karena 10 stasiun televisi swasta Jakarta (SCTV, RCTI, TPI, Indosiar, antv, Metro TV, Trans TV, Lativi, Trans7, dan Global TV) merasa sudah lama menganut sistem relai sebagai paham tafsir terhadap siaran berjaringan. Padahal, spirit dasar dari siaran berjaringan adalah terpenuhinya aspek diversity of ownership, diversity of content, dan kearifan lokal (berkembangnya industri siaran lokal dan terlindunginya sosial- budaya masyarakat lokal).

Secara spesifik, polemik SSB telah menghadapkan KPI sebagai regulator dalam bidang penyiaran dengan 10 stasiun televisi Jakarta yang selama ini sudah bersiaran secara nasional. Polemik penyusunan SSB bersumber pada model dan pemahaman tentang teknis siaran berjaringan. Apakah siaran berjaringan cukup dengan mendirikan pemancar di setiap daerah siaran untuk menangkap isi siaran secara relai dari Jakarta? Artinya, seluruh produksi isi siaran dilakukan oleh stasiun televisi di Jakarta dan dipancarluaskan secara nasional dengan menggunakan sistem relai dengan hanya mendirikan pemancar di sejumlah daerah. Seluruh produksi siaran menggunakan sumber daya dan kemampuan Jakarta, bukan sumber daya dan kemampuan lokal. Akibatnya, jelas akan terjadi ketimpangan sosial dan kepincangan antara pertumbuhan ekonomi lokal dan Jakarta. Sementara, untuk memenuhi cita rasa kearifan lokal, stasiun televisi Jakarta dapat memproduksi program dengan content lokal namun diproduksi sepenuhnya di Jakarta. Dampaknya, kita akan menyaksikan tayangan wayang, ludruk, tarian Cakalele, Tor-tor dengan rasa Jakarta.

Tentu saja SSB tidak sesederhana itu. Seperti yang disampaikan sebelumnya, spirit dasar dari siaran berjaringan adalah terpenuhinya aspek berkembangnya industri siaran lokal dan terlindunginya sosial- budaya masyarakat lokal.

Bagi stasiun televisi nasional, model siaran berjaringan tersebut terasa menyulitkan. Ini karena dalam waktu singkat secara serentak mereka harus membuka kantor cabang pada setiap daerah yang dibidik sebagai area jangkauan siarannya dengan melibatkan potensi lokal. Atau enggan berbagai modal dan content siaran dengan stasiun televisi lokal karena alasan share kue iklan yang menciut.

Sesungguhnya alasan tersebut dapat dipahami jika sebelumnya tidak ada isyarat untuk menata model siaran berjaringan. Namun, sejak berlakunya UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 sudah diisyaratkan bahwa stasiun televisi yang selama ini bersiaran secara nasional untuk menggunakan siaran berjaringan. Karena alasan perlu waktu mempersiapkan diri, pemberlakuan sistem siaran berjaringan ditunda hingga dua kali pada tahun 2005 dan akhirnya efektif mulai berlaku pada 28 Desember 2007. Karena itu, sejatinya tidak ada alasan lagi bagi stasiun televisi yang bersiaran nasional menunda pelaksanaan sistem siaran berjaringan tersebut.

SSB dengan menggunakan model stasiun lokal mensyaratkan banyak hal, seperti memiliki studio siaran dengan segala kelengkapannya, memiliki ruang pengendali siaran (master control) dengan segala kelengkapannya, memiliki peralatan-peralatan transmisi, pengiriman gambar melalui satelit, serat optik dan atau microwave, maupun jenis- jenis peralatan lainnya yang berfungsi untuk menyebarluaskan tayangan program televisi, peralatan-peralatan post produksi yang memenuhi standar-standar penyiaran, peralatan-peralatan kamera beserta kelengkapannya, gedung kantor dan peralatan kantor yang menjadi pusat operasional. Bisa dibayangkan, berapa besar cost yang mesti dikeluarkan oleh stasiun televisi Jakarta jika akan membuka siaran jaringan dengan sistem membuka stasiun lokal.

Agaknya, dengan kondisi telah menggunakan sistem relai, stasiun televisi Jakarta akan lebih membidik model siaran berjaringan dengan sistem stasiun jaringan. Jalan terjal

Pilihan model siaran berjaringan demikian bukanlah tanpa celah. Ketetapan penentuan lima daerah siaran di Pulau Jawa satu sisi dapat memicu sentimen luar Jawa, namun sisi lain mencerminkan kearifan yang proporsional. Sebab, faktanya populasi penduduk Pulau Jawa yang mengonsumsi tayangan televisi memang jauh lebih padat dibanding luar Pulau Jawa. Walau kemungkinan kecil, persoalan dapat muncul kemudian jika stasiun televisi yang selama ini bersiaran secara nasional dengan pertimbangan pasar pengiklan secara bersama-sama pada tahun pertama tidak memilih suatu daerah sebagai area jangkauan siaran.

Problematika "keadilan yang merata" itu sesungguhnya menjadi alat ukur sejauh mana aspek social responsibility dapat diterapkan dalam industri televisi. Harus ada will dari pelaku bisnis yang bergerak dalam industri televisi untuk menjangkau aspek keadilan sosial tersebut. Tidak bisa semuanya dengan serta-merta diserahkan dan dikembalikan pada KPI sebagai regulator tanpa dorongan iktikad baik dari industri televisi.

Selain itu, peraturan KPI tentang sistem siaran berjaringan dapat saja melawan atau bertentangan dengan Pasal 34 PP 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta yang kedudukannya di atas Peraturan KPI. Unsur melawan atau bertentangan dengan PP itu dapat muncul dari penafsiran terhadap "stasiun jaringan". Celah ini dapat dijadikan potensi gugatan untuk membatalkan peraturan KPI tersebut.

Berhadapan dengan gugatan hukum, KPI memang memiliki trauma tertentu. Kekalahan pada gugatan judicial review terhadap UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang diputuskan MK dan P3/SPS oleh MA merupakan beban psikis bagi KPI yang belum pulih hingga kini. Iswandi Syahputra Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Favorite site: www.tribun-timur.com

No comments: