Tuesday, November 27, 2007

Kiat TV Lokal

http://www.wartaekonomi.com/detail.asp?aid=3747&cid=24

Kiat TV Lokal

  • Faktor penentu kesuksesan: modal, manajemen, kompetensi, dan jaringan distribusi, teknologi
  • Menurut Rhenald Kasali, pengusaha yang bergerak di media elektronik, terutama pertelevisian, kadang tidak sadar bahwa modal yang dibutuhkan untuk itu tidak cuma tangible asset, tetapi juga intangible asset. "Modal terbesar sebuah stasiun TV adalah intangible asset, di antaranya content, format, karakter, dan brand image," tutur pakar manajemen pemasaran yang juga ketua Program Ilmu Manajemen - Pasca Sarjana Universitas Indonesia itu.
  • Dari media cetak ke TV: Manfaat jaringan bisnis dan redaksi.Biaya: TV-TV lokal mempunyai kisaran harga iklan sekitar Rp4 juta untuk durasi 30 detik. Tarif iklan TV swasta nasional dengan durasi yang sama, yang berkisar Rp10-20 juta.
  • Kiat irit: Andalkan program berbiaya rendah: siaran langsung, talk show, atau sinetron made in sendiri. Biaya “sinetron Jakarta" Rp 200 juta per episode. Buatan sendiri Rp 5 juta-an sampai Rp 10 jutaan.
  • Unggulan: Siaran langsung acara budaya yang diminati. TATV membawa OB van ke Taman Balekambang, nyaris tiap hari. Tujuannya satu: merekam pementasan Ketoprak Tobong yang manggung di tempat itu. Nantinya, warga Karesidenan Surakarta bisa menyaksikan di layar kaca tiap Sabtu pukul 20.30. Selain program Campursari, program Ketoprak Tobong juga mendapat rating bagus.
  • Unggulan: rata-rata program unggulan berbagai TV lokal adalah berita. Isi berita nyaris 90% memuat kejadian lokal, sisanya barulah berita nasional dan internasional.

Liput TV Lokal, TV Lokal Semakin Menggeliat
0 Tanggapan

Rabu, 22 Desember 2004 01:34 WIB - warta ekonomi.com

Kini, tak kurang dari 30 TV swasta lokal mengudara di Indonesia. Selain mengusung idealisme, mereka menawarkan hiburan dan informasi yang dekat dengan masyarakatnya. Investasi terpenting bukan dana, tetapi content dan format siaran yang berkarakter kedaerahan.

Bila berkunjung ke daerah, entah untuk berlibur atau melakukan perjalanan bisnis, sesekali perhatikanlah layar televisi (TV). Siapa tahu Anda sedang menyaksikan siaran TV swasta lokal. Lima tahun belakangan, langit Indonesia memang makin marak dengan hadirnya berpuluh-puluh stasiun TV lokal. Ada Bali TV yang menjangkau seluruh Pulau Dewata, JTV di Surabaya, Pacific TV di Manado, atau TATV yang menyapa warga Solo sejak September 2004.

Menurut data resmi yang diterbitkan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) per Agustus 2003, ada sekitar 20 stasiun TV swasta lokal yang mengudara mulai dari Sumatra hingga Papua. Daftar itu kini tentunya sudah makin panjang seiring dengan berjalannya waktu. Kini, setidaknya sudah ada sekitar 30 TV lokal yang mengudara. Dan, terbersit kabar bahwa masih ada 20-an lagi stasiun TV swasta lokal yang sedang menunggu izin penyiaran.

Lahirnya UU Penyiaran No. 32/2002 tentang Penyiaran dipercaya menjadi pemicu dari lahirnya TV-TV lokal tadi. Alhasil, penonton di daerah kini tidak lagi dibatasi untuk mendapatkan informasi, yang selama beberapa tahun lalu dipancarkan secara sentral dari Jakarta, atau menonton hiburan yang terkadang terkesan "Jakarta minded". Melihat terus tumbuhnya stasiun-stasiun TV lokal, adakah ini cermin dari cerahnya bisnis tersebut? Sulit untuk dipastikan. Namun yang pasti, agar stasiun-stasiun TV lokal tadi dapat memulai siarannya, dibutuhkan dana yang besar untuk membangun studio dan pemancar, sampai ke biaya operasional siaran tiap harinya. Kalau dihitung kadang mencapai angka miliaran rupiah.

Berbagai faktor menjadi penentu apakah sebuah stasiun TV bakal sukses atau tidak. Di antaranya, ada faktor modal, manajemen, kompetensi, dan jaringan distribusi, di samping teknologi. Menurut Rhenald Kasali, pengusaha yang bergerak di media elektronik, terutama pertelevisian, kadang tidak sadar bahwa modal yang dibutuhkan untuk itu tidak cuma tangible asset, tetapi juga intangible asset. "Modal terbesar sebuah stasiun TV adalah intangible asset, di antaranya content, format, karakter, dan brand image," tutur pakar manajemen pemasaran yang juga ketua Program Ilmu Manajemen - Pasca Sarjana Universitas Indonesia itu.

Pesimisme akan prospek bisnis pertelevisian makin diperparah dengan stigma bahwa TV lokal akan lebih sulit dalam mendapatkan iklan, mengingat coverage-nya terbatas dan potensi iklan dari daerah yang dinilai tidak menggembirakan. Ini ditambah dengan kenyataan bahwa beberapa TV swasta nasional tengah terlilit utang karena minimnya pendapatan iklan, sementara biaya operasional harus jalan terus.

Jika TV swasta yang melakukan siaran secara nasional saja masih ada yang merugi, apalagi TV lokal. Apakah ada pengusaha TV lokal yang mau merugi? "Pengusaha TV lokal mempunyai idealisme yang jelas," tegas ABG Satria Naradha dari Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI). Sebab, imbuh Satria, hampir semua TV lokal tidak berangkat dari idealisme komersial alias tidak profit oriented. Pemegang saham yang membangun sebuah perusahaan media elektronik mempunyai idealisme moral dan spiritual, sebelum sampai pada tahapan komersial.

Maka, tak heran jika pemain-pemain besar dalam bisnis TV lokal adalah mereka yang sudah mempunyai akar yang kuat di bisnis media. Jika dirunut, Riau TV, JTV, dan Batam TV masih bernaung di bawah satu payung: Grup Jawa Pos. Atau Bali TV, yang memanfaatkan jaringan Bali Pos. Teranyar, O-Channel, sebuah TV lokal di Jakarta, yang sedang melakukan siaran percobaan, lahir dari rahim Grup MRA yang sudah mempunyai berbagai majalah dan radio. "Jika seorang pengusaha yang tidak pernah bermain di bisnis media, terutama broadcasting, kemudian menceburkan diri ke bisnis pertelevisian, pasti membutuhkan biaya yang amat besar," urai Rhenald. Persaingan dan stagnasi di bisnis media cetak setidaknya mendorong kelompok-kelompok bisnis tadi untuk melebarkan sayap, melakukan diversifikasi usaha ke bidang media elektronik. Nah, akan halnya TV lokal, mantra saktinya adalah menggarap magnitude kedaerahan.

Prospek Bisnis

Prospek bisnis bisnis pertelevisian lambat laun menuju ke arah positif. Tahun 2004 saja ada beberapa stasiun TV lokal yang kan mengudara, seperti Bogor TV dan O-Channel. Lalu ada yang baru mulai tayang, antara lain, TVB (TV Borobudur) dan TATV. Kemudian ada beberapa TV lokal yang sudah berumur lebih dari tiga tahun, misalnya Riau TV, JTV, dan Bali TV. Hal tersebut setidaknya menyiratkan harapan bahwa masih ada ceruk yang belum tergarap di industri pertelevisian.

Meski profit yang didapat tidak terlalu besar, kalau segmen pemirsa dan karakteristik program tayangannya jelas, tak ada alasan bagi TV lokal untuk tidak mampu menghadang keperkasaan TV swasta nasional. Apalagi jika TV-TV lokal itu disokong oleh kelompok bisnis yang sudah mapan, maka tidak perlu lagi ada kekhawatiran soal pendanaan.

Sebagai contoh, RTV berusaha mencitrakan diri sebagai stasiun TV lokal yang profesional. Stasiun TV yang mengudara pertama kali pada 20 Mei 2001 ini sebenarnya adalah proyek percontohan Grup Jawa Pos untuk mengembangkan bisnis pertelevisian. Dengan modal sebesar Rp15 miliar, RTV mulai bergerak.

Secara bisnis, RTV banyak terbantu oleh manajemen, pola pemasaran, dan relasi ekonomi Riau Pos yang sudah lebih dulu dikenal masyarakat Pekanbaru. Walhasil, dalam rentang waktu tak begitu lama, RTV mampu menggaet iklan dari perusahaan kelas kakap, seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk., PT Caltex Pacific Indonesia, atau PT Riau Andalan Pulp & Paper yang berkedudukan di Pekanbaru.

Keadaan serupa juga dialami JTV. Bernaung di bawah kelompok bisnis besar, Grup Jawa Pos, membuat JTV relatif ringan dalam melangkah. Untuk masalah modal saja, PT Jawa Media Televisi yang 100% modalnya dimiliki oleh PT Jawa Pos Group ini rela menggelontorkan dana hingga Rp150 miliar demi mengudaranya JTV.

Nah, back up kelompok bisnis yang mapan dan diimbangi dengan persiapan yang matang, membuat dua stasiun TV lokal itu mampu menggaet iklan dalam rentang waktu yang relatif singkat. Akan tetapi, apa yang harus dilakukan oleh TV-TV lokal yang dibiayai perseorangan, atau perusahaan yang tidak disokong grup besar, untuk mendapatkan iklan? Jawabannya kompak: menawarkan tarif iklan yang menarik.

Sebagai gambaran, TV-TV lokal mempunyai kisaran harga iklan sekitar Rp4 juta untuk durasi 30 detik. Bandingkan dengan tarif iklan TV swasta nasional dengan durasi yang sama, yang berkisar Rp10-20 juta. Jam tayang yang terbatas, mau tak mau, membuat jumlah iklan yang masuk juga tak sederas TV swasta nasional. Biarpun begitu, TV lokal mempunyai semangat untuk membuat operasional mereka tetap berjalan.

Sekadar contoh, dalam sehari TVB harus mengeluarkan biaya operasional Rp20-50 juta untuk siaran selama 5,5 jam sehari. Jika dalam satu jam, katakanlah, TVB mempunyai tayangan iklan selama 10 menit, mereka mampu menabung Rp40 juta. Itu masih perkiraan kasar. Tentunya masih banyak komponen yang harus diperhatikan, seperti gaji karyawan, biaya pembuatan program, listrik, telepon, dan sebagainya. Mereka pun belum berani cepat-cepat mengambil untung, apalagi menyatakan sudah mencapai break-even point (BEP). "Yang terpenting adalah menutup seluruh biaya operasional tanpa ada subsidi," tegas David Haryanto, manajer pemasaran TATV.

Program Murah Meriah

Atas nama penghematan biaya operasional, TV lokal banyak mengandalkan program-program siaran yang berbujet rendah. Misalnya siaran langsung, talk show, atau sinetron made in sendiri. "Kalau beli sinetron dari Jakarta, kami harus mengeluarkan biaya sekitar Rp200 juta per episode. Akan tetapi jika membuat sendiri, paling-paling cuma habis Rp5 juta-an," papar Satria Naradha, yang juga menjabat sebagai direktur utama PT Bali Naradha Televisi, blakblakan. Setali tiga uang dengan Bali TV, JTV pun memakai resep yang sama dalam pembuatan sinetron. "Kami bisa membuat satu episode sinetron dengan biaya Rp15 juta-an," kata Arief Affandi, direktur pemberitaan JTV.

Tentu saja, sinetron buatan dapur sendiri muatannya bisa disesuaikan dengan kondisi daerahnya. Tidak melulu glamor dan berkesan kejakartaan, seperti yang banyak ditawarkan oleh stasiun-stasiun TV swasta nasional. "Jika memungkinkan, bahasa pengantarnya pun bahasa Bali, plus ada kidung-kidung dan sisipan religi Hindu," tambah Satria. Kalau sudah begini, yang mendapat durian runtuh adalah rumah-rumah produksi lokal. Ini mengingat kebanyakan stasiun-stasiun TV lebih senang mengorder sebuah program ke rumah produksi.

Sementara itu, yang dilakukan TATV juga cukup unik. Mereka membawa OB van ke Taman Balekambang, nyaris tiap hari. Tujuannya satu: merekam pementasan Ketoprak Tobong yang manggung di tempat itu. Nantinya, warga Karesidenan Surakarta bisa menyaksikan di layar kaca tiap Sabtu pukul 20.30. Selain program Campursari, program Ketoprak Tobong juga mendapat rating bagus, dengan kata lain, masyarakat merespons cukup positif.

Stasiun TV yang dimodali oleh Budianto, seorang pengusaha bakery dan kafe, dengan bantuan dana dari salah satu organisasi keagamaan di kota Solo, ini, memang berkeinginan untuk mengangkat budaya lokal seraya sekaligus mengeliminir budaya modern. Budaya modern, nilai David Haryanto yang juga manajer pemasaran TATV itu, sedikit banyak sudah mempengaruhi etika sosial generasi muda di Solo. Meskipun didanai organisasi keagamaan, TATV tidak membawa misi keagamaan. "Target pemirsa kami adalah masyarakat umum, mulai anak-anak sampai kakek-nenek, tidak ada batasan umur dan agama," terang David.

Kental Nuansa Lokal

Menurut ATVLI, rata-rata program unggulan berbagai TV lokal adalah berita. Isi berita nyaris 90% memuat kejadian lokal, sisanya barulah berita nasional dan internasional. Istilah keren yang dipaparkan Satria Naradha dari ATVLI adalah "melokalkan berita nasional dan menasionalkan berita lokal". Jika TATV, Pacific TV, dan Bali TV memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, JTV menyodorkan berita dengan bahasa daerah Jawa Timur. Acara yang diberi nama Pojok Kampung ini sejak awal kemunculannya menjadi sorotan karena penggunaan bahasa yang dinilai "tak lazim".

Sejatinya, kekuatan TV lokal memang berada pada kedekatan mereka dengan masyarakat daerah. Bagaimana mereka bisa mengakomodasi keinginan masyarakat setempat, entah dengan program siaran yang banyak mengandung muatan lokal ataupun menggunakan pengantar bahasa daerah. Semua disesuaikan dengan psikografi target market TV lokal bersangkutan.

"Kalau masyarakat tidak menghendaki sentuhan lokal, cuma mengcopy dari siaran nasional, bisa diartikan bahwa daerah tersebut belum perlu kehadiran TV lokal," urai Rhenald Kasali. Daerah-daerah yang memiliki kekhasan, seperti Yogyakarta, Bali, Aceh, atau Papua, dipandang lebih mudah untuk menghadirkan muatan lokal ke layar kaca. Dengan kata lain, karakter lokal bisa muncul di TV apabila masyarakatnya sendiri bangga akan kelokalan yang dimilikinya.

Rhenald mengambil contoh Bali TV. Menurut dia, stasiun yang bisa ditangkap oleh warga Jakarta melalui parabola itu merupakan bentuk yang pas, mengingat karakteristik masyarakatnya yang khas dan potensi industri di Bali yang cukup besar. "Bali itu open system. Mereka terbuka dengan budaya luar, tapi budaya sendirinya juga kuat," pujinya.

Rhenald mengimbuhkan, TV lokal seharusnya memposisikan diri sebagai komplementer, bukan sekadar substitusi. Pasalnya, penonton di daerah masih bisa memilih tayangan TV lokal dan siaran TV swasta nasional. "Remote masih berkuasa," tegasnya. Jika TV lokal tidak memberikan sesuatu yang berbeda, bukan tak mungkin penonton lebih memilih TV swasta nasional.

Menurut perhitungan ATVLI, jika suatu daerah bisa hidup dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka daerah tersebut sebenarnya sudah sanggup untuk memiliki TV lokal. "Idealnya, TV lokal sanggup menjangkau satu provinsi, tidak antarkota saja," ujar Satria. Selain biayanya lebih ringan, juga menghindari persaingan tidak sehat dan ancaman bangkrut.

Untuk bisa bertahan, baik Rhenald Kasali maupun Satria Naradha kompak menyatakan bahwa TV lokal hendaknya membuat sesuatu yang berbeda dan tidak bisa ditemukan pada siaran TV swasta nasional. Strateginya, bisa dengan cara menemukan karakter lokal yang hendak diangkat hingga format siaran yang pas.

Menjamurnya TV lokal semoga bukan sekadar euforia atas terbitnya UU Penyiaran, tetapi lebih pada upaya untuk mengaktualisasikan diri, sehingga tidak ada lagi kesenjangan informasi antara pusat dan daerah. Selain itu, tentu saja memberi konsumen lebih banyak pilihan hiburan yang lebih dekat dengan keseharian mereka. ARI WINDYANINGRUM DAN HENDARU

Jurus Sukses TV Lokal

1. Menawarkan tayangan khas yang tidak didapat dalam siaran TV swasta nasional. Misalnya, menyuguhkan program yang kental nuansa kedaerahan.

2. Menampilkan sesuatu yang dekat dengan masyarakat daerah. Bisa berbentuk berita atau program unggulan lainnya.

3. Mempunyai idealisme dan jaringan kuat. Lebih istimewa jika didukung kelompok usaha yang cukup mapan dan sudah berpengalaman dalam bisnis media.

4. Menawarkan tarif iklan yang relatif murah.

5. Bekerja sama dengan rumah produksi lokal supaya bisa mendapat program dengan harga miring.

Sumber: Disarikan dari wawancara.

Favorite site: www.tribun-timur.com

No comments: