Tuesday, November 27, 2007

TV Lokal: Gairah dan Tantangan

http://www.penulislepas.com/v2/?p=48


Wawasan
* Memaparkan secara sekilas perkembangan TV lokal
* Disajikan data jumlah stasiun lokal di RRC: jumlah amat banyak



Semarak Televisi Lokal
Author: Agusti Anwar. 6 September 2006 : 4:26 pm.
Komputer Anda Bermasalah? | Cara menerbitkan buku >>



WAKTU adakalanya memberikan kejutan-kejutan manis, meskipun kecil. Setelah beberapa lama tidak singgah ke Pekanbaru, beberapa waktu lalu tatkala sempat, saya pun singgah. Kota bertuah Negeri Payung Sekaki itu tetap rapi dan bersih, indah di pandang mata. Pembangunan semakin giat melebar meluas ke berbagai wilayah, terutama sejak era otonomi daerah ini.

Suasana memang sudah lain, ketika dulu Riau dikenal menjadi ajang meraup pendapatan bagi Pusat dan juga, katanya, pemasukan pribadi bagi gubernur non-lokal yang tidak perduli. Itulah periode ketika pendidikan Riau tergolong salah satu yang paling tertinggal, ketika kontribusinya bagi anggaran pendapatan nasional salah satu yang terbesar.

Setelah reformasi, tampaknya putra daerah telah memetik banyak manfaat, termasuk di ajak kepolitikan lokal.* Entah seperti membalaskan luka karena dominasi Pusat sebelumnya, kepemimpinan daerah pun menuntut orisinalitas kesukuan figurnya. Memiliki latarbelakang ‘Melayu’ telah menjadi kata kunci. Namun, di luar sekap konteks tersebut, faktanya memang kemajuan semakin terasa di propinsi ini setelah putra daerah yang memimpin. Benar bahwa dulu pun ada gubernur yang bukan putra daerah, misalnya Pak Soebrantas, yang dicintai masyarakat karena keperduliannya. Sebagai warga yang tumbuh besar di Riau, meski bukan orang Melayu, saya turut gembira atas perkembangan pembangunan ini—dengan segala kekurangannya.

Salah satu gerak langkah kemajuan di Riau sekarang adalah keberadaan televisi lokal. RiauTV atau RTV namanya.** Tentu saja RTV hanyalah salah satu darin sedikitnya 60-an televisi lokal swasta yang ada di Indonesia, mulai dari BukttinggiTV, TegalTV, BaliTV, GorontaloTV dan seterusnya. Berkat UU No. 32/2002 tentang Penyiaran sebagai payung bagi eksistensi televisi lokal swasta, investasi bisnis di dunia pertelevisian daerah turut berkembang, dengan titik unggul kemampuan membaca dan mengkomunikasikan kearifan dan kebutuhan masyarakat setempat. Karena bersifat swasta dan hidup dari pemasukan iklan, situasi spesifik masing-masing televisi lokal bermacam ragam, dari yang mereguk untung dan terus berkembang sampai yang kembang-kempis dan terancam gulung tikar. Untuk kasus Riau, kiprah RTV telah melengkapkan semarak pembangunan daerah yang memiliki nilai dan kebanggaan tersendiri.

Yang semakin membuat saya kagum adalah besarnya minat masyarakat terhadap televisi daerahnya. Ketika berkeliling dan singgah di berbagai bagian kota, saya selalu menemukan televisi yang dipatok di saluran RTV itu. Tentu saja tetap banyak yang juga gemar dengan sinetron atau gosip infotainment produk Jakarta yang telah diharamkan para ulama NU karena unsur pergunjingannya yang membuka aib orang lain (ghibah). Namun televisi lokal pun ternyata punya magnet yang kuat, tidak begitu saja dikalahkan oleh ‘kesebelasan’ televisi besar yang direlai dari Jakarta.

Dulu tidak terbayangkan akan ada banyak stasiun televisi independen di negeri kita ini. Di era Orde Baru, otoriterisme politik juga diwujudkan dengan monopoli televisi siaran pemerintah lewat TVRI yang kemudian ditambah dengan beberapa saluran swasta yang lebih sedikit jumlahnya dari banyaknya jari tangan. Mula-mula saya menduga semua negara yang non demokratis akan berperilaku terpusat sedemikian itu.

Ternyata salah. Sebab, RRC, misalnya, sebagai negara komunis yang sentralistik justeru memiliki stasiun televisi terbanyak di dunia (data CIA world Fact: 3240 saluran, 31 televisi propinsi, 3000 televisi daerah tingkat dua). CCTV sebagai televisi nasional atau BeijingTV yang berbasis ibukota, memiliki belasan saluran yang bersegmen khusus, mulai dari yang umum, spesialis berita, pendidikan, olah raga, internasional dan sebagainya. Televisi lokal yang membawakan siaran pertanian seperti cara budidaya lele dumbo atau teknik biogenetika pembibitan unggulan ternyata memberi manfaat besar bagi para petani, tanpa harus berbaris mendengarkan ceramah penuh anggukan sejenis Klompencapir. Putri saya yang berusia 3 tahun sempat belajar bahasa Mandarin dan Inggeris di saluran televisi pendidikan.

Berkembangnya televisi lokal di tanah air yang sekarang telah kita miliki jelas mempunyai potensi besar untuk semakin mencerdaskan dan mentransfer pembangunan dalam konteks kedaerahan. Memang televisi daerah dapat saja sekedar memperluas pergosipan model infotainment dunia selebritis yang memang gatal kamera, baik yang di pusat maupun daerah. Namun hendaknya semangat diversity of content dan diversity of ownership yang didorong UU Penyiaran tahun 2002 tidak sekedar duplikasi ‘ekses negatif’ pusat ke konteks daerah, melainkan program positifnya. Televisi lokal jelas menyediakan ruang luas untuk mengemas keunggulan daerah secara lebih mendalam—those that matter to the locals.

Anda tahu, satu hal lagi yang membuat saya semakin terkesima menyaksikan kiprah televisi lokal Riau adalah ketika di pagi hari Jumat itu, dengan jam tayang 10.00-11.00, ada acara dialog interaktif Lentera (BKMT) yang dipandu Dra. Sukma Erni MPd, dosen UIN Sulthan Syarif Kasim yang juga aktivis perempuan di Riau. Rupanya, karena akan memandu acara dialog itulah maka adik perempuan saya itu bergegas pergi satu jam sebelum jam tayang, rupanya ke stasiun RTV untuk live shooting. Komitmen untuk berbuat memang dapat dilakukan tanpa banyak cerita (apalagi berbangga), tetapi langsung saja berbuat. Televisi lokal juga dapat berbuat banyak bagi daerah, walau tidak terdengar di pusat.
Jakarta, 27 Agustus 2006

Sumber: http://agustianwar.multiply.com/journal/item/79

-Dapat dirujuk juga Asosiasi Televisi Lokal Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia

-Daftar lengkap televisi lokal di Indonesia dapat dilihat di Asiawaves.net.

*) Patut dicatat bahwa dalam Pemilu 2004, di antara 2 orang yang mendapatkan suara langsung mencukupi raihan suara yang diperlukan sesuai ketentuan Bilangan Pembagi Pemilih, bukan sekedar nomor urut, untuk duduk di DPR adalah Hidayat Nur Wahid dari PKS dan Saleh Djasit, tokoh asli Riau yang dari Golkar. Semua di Riau tahu bahwa ia tokoh yang dicintai masyarakat.

**) Kepemilikan RiauTV sebetulnya berada pada Jawa Pos group.
This entry is filed under Kolumnis, Agusty Anwar, Tematik, Politik, Sosial dan Budaya, Pendidikan, Umum dan Lain-lain. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.


favorite site: www.tribun-timur.com

No comments: