Tuesday, November 27, 2007

Pengalaman Pengelola TV

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=210315&kat_id=85

Pengalaman Pengelola TV

Kesaksian:
* Mengelola TV harus siap keluarkan biaya operasional lebih banyak. Wartawan harus pakai mobil
* Tantangannya banyak, tapi kuncinya kreativitas
* Ada keluhan soal KPI, yang dianggap menghambat, bukannya mendorong




Minggu, 21 Agustus 2005
Imawan Mashuri
Belajar Mental dari Dunia Televisi

Oleh :

Kariernya di dunia pertelevisian justru dimulai dari tulis menulis. Dunia wartawan menjadi pilihannya. Sepanjang kariernya, sudah tidak terhitung lagi media cetak, baik harian maupun tabloid, yang dipegangnya sukses di pasaran.

Setelah menuai sukses, kemampuan Imawan Mashuri kembali diuji oleh Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos. Pria yang juga dipercaya sebagai direktur berbagai perusahaan grup Jawa Pos ini mendapat tugas membesarkan televisi lokal pertama di Jawa Timur, yakni Jawa Timur TV (JTV).

Itu terjadi pada tanggal 8 Nopember 2001 saat pertama kali JTV mengudara. Dengan posisi sebagai presiden direktur PT Jawa Pos Media Televisi, pria trengginas ini memulai langkahnya.

Untuk memperdalam ilmu di bidang pertelevisian, ia belajar di Jepang. Itu dilakukan saat menjadi wartawan Jawa Pos. Ia sering ditugaskan dalam program kerja sama antara Pemkot Surabaya dan Kota Kochi. Di kota ini, juga ada sebuah perusahaan koran yang memiliki stasiun televisi. Di sinilah sedikit banyak ilmunya untuk mengembangkan JTV diperoleh.

Sejak itulah Imawan merasakan jatuh bangun membesarkan sebuah televisi lokal. Bagi dia, cukup banyak 'masalah teknis' yang bakal menghadang keberadaan televisi lokal, khususnya regulasi perizinan. Tidak saja untuk televisi yang dikelolanya, tetapi juga untuk keseluruhan televisi-televisi lokal yang belakangan terus bermunculan.

Pria yang juga direktur Graha Pena Building ini pun mengkritisi sikap anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang dinilainya tidak transparan lagi.

Saat ini Imawan dapat tersenyum saat bertutur tentang televisi lokal, terutama JTV. Salah satu yang membuat senyumnya bertambah lebar adalah lantaran keuntungan yang diperolehnya tiap bulan. Bahkan, pria kelahiran Malang, 3 September 1961 ini berani mematok target keuntungan yang lebih tinggi tahun ini.

Kepada Erwan Hendro Prasetyo dan Achmad Alvani Rizal dari Republika, Imawan menuturkan liku-liku menangani televisi lokal, bagaimana perkembangannya hingga ke obsesi pribadinya. Berikut petikannya:

Bagaimana perkembangan televisi lokal saat ini?
Sangat cepat. Ini didorong oleh semangat lokal dan otonomi daerah, mereka berlomba-lomba untuk itu. Lebih dari itu, sebetulnya ada semangat lain, yaitu kesempatan untuk berekspresi diri. Mereka merasa sudah bisa mengekspresikan diri untuk masyarakat lokal karena disemangati oleh UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran.

Saat ini dalam organisasi Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) terdapat 20 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia. Insya Allah, terus berkembang. Saat ini banyak yang bertanya untuk jadi anggota, kira-kira 17 lagi. Mungkin pertengahan tahun depan anggota kita sudah menjadi 37.

Dibanding televisi nasional, apakah televisi lokal menguntungkan?
JTV pada tahun kedua sudah untung. Saya dengar Bali TV juga sudah untung. Saya belum mendengar televisi-televisi Jakarta yang sudah untung. Mungkin dia iklannya besar, tapi biayanya juga besar. Tapi, ada juga yang mengkhawatirkan memang, misalnya televisi Gorontalo. Bisa nggak mereka untung.

JTV sudah menemukan pola untuk membangun bisnisnya, sehingga menemukan identitas personifikasinya. Lalu kemudian, dia menjadi bagian masyarakat Jatim. Karena menjadi bagian masyarakat Jatim, segala kepentingan iklan telah mampu didistribusi oleh JTV.

Buktinya, JTV ada iklannya. Dan alhamdulillah, kita sudah mendapat untung menginjak tahun ke-2. Pada tahun 2004, keuntungan kita mencapai Rp 2,4 miliar per bulan. Tahun 2005 kita target Rp 3,5 miliar per bulan. Untuk bayar kegiatan operasional tiap bulan seperti bayar gaji karyawan dan sebagainya itu sudah ditutup kemampuan memperoleh keuntungan ini.

Apa strategi bersaing dengan televisi nasional?
Satu, JTV sudah menemukan identitas diri, yaitu lokal. Acara-acara untuk masyarakat lokal. Kita angkat kesenian-kesenian lokal, tren sesuatu yang tumbuh di lokal seperti tren ekonomi, kesenian, kebudayaan. Berita-berita juga kita garap serius. JTV lalu menemukan rumusan melokalkan yang nasional dan menasionalkan yang lokal.

Dalam hal news misalnya. Masalah nasional yang sedang ramai dibicarakan seperti flu burung coba kita angkat lagi di lingkup lokal. Bagaimana Jatim mengatasi wabah itu dsb. Kalau menasionalkan yang lokal, di Sidoarjo ada pencemaran sungai ini kita garap serius bagaimana agar presiden sampai mau ngomong soal hal itu.

Bagaimana soal kesenian? Apakah ikut serius digarap?
Oh, pasti itu. Kesenian dan anak-anak yang berprestasi di lokal akan kita bawa untuk tampil di nasional atau bahkan di internasional. Kita garap begitu itu membuat JTV ketemu performance-nya. Terus materi keseniannya kita hidupkan lagi. Orang sudah lupa dengan kesenian kentrung misalnya. Padahal ini kesenian yang cukup kuat di Jatim. Kita garap dari Surabaya. Karena Surabaya berubah menjadi kota metropolis, kita ubah kentrungan-nya menjadi kentrung funky. Hampir seluruh tayangan produksi JTV sendiri. JTV kuat di komedi seperti acara Din Brodin ini sebagai salah satu kekuatan yang dimiliki JTV.

Sejauh ini bagaimana animo masyarakat terhadap televisi lokal?
Meningkat. Kita tidak kesulitan menarik iklan dan menganggap televisi nasional bukan sebagai kompetitor. Kita sudah tahu trennya. Secara kalkulasi bisnis sudah ketahuan dan bisa dibaca. Oleh karena itu, kita berani ekspansi lebih besar. Misalnya, pemancar yang dulunya 10 kilo(meter) menjadi 30 kilo, daerah-daerah yang dulunya kecil-kecil kita besarkan semua. Supaya kemampuan orang menangkap JTV nomor satu. Reception quality, kalau dulu jelek, paling tidak sekarang jadi paling bagus. Karena punya orang Jatim harus bagus. Dalam 2006, paling tidak sudah sempurna penerimaan gambarnya. Kita sudah punya enam tower yang diperbaiki. Antenanya ditambah, power kekuatan pemancar juga ditambah.

Sulitkah menggaet iklan? Jelas tidak pernah ada sesuatu yang dari awal itu gampang. Tapi, kita sudah tahu semangat orang. Animo Jatim ini cukup luar biasa. Dengan menggarap full lokal dan sudah punya image, iklan akan datang sendiri. Sebenarnya, kemampuan beli di Jawa Timur dua digit lebih tinggi dari Jakarta. Itu sudah kita ukur. Kita tanya ke biro-biro iklan, mereka menunjukkan belanja yang sasarannya untuk Jawa Timur tinggi banget. Dapat sepuluh persennya saja sudah sehat. Di Jawa Timur, saya mau bermain di 15 persen potensi iklan.

Dari data yang saya tahu, untuk belanja iklan setahun sebesar 30 triliun di Indonesia, 64 persennya dibelanjakan pada televisi. Kita tidak bersaing dengan televisi nasional karena kita punya lahan sendiri. Perolehan iklan kami sebulan sebesar Rp 2,4 miliar tahun 2004. Target kita tahun ini Rp 3,5 miliar sebulan karena beban sudah mulai banyak. Trennya terus naik. Mulai dari tahun pertama sebesar Rp 700 juta menjadi Rp 1 miliar lebih, terus Rp 2,4 (miliar).

Anda optimis ini akan berjalan?
Sangat optimis. Karena contohnya di negara-negara maju banyak televisi lokal. Jumlahnya mencapai ribuan. Di Amerika, dari ribuan televisi yang ada, mungkin televisi nasionalnya bisa dihitung dengan jari.

Meski begitu, ayah dari Dimas Zulkifar (10 tahun) dan Raditya Muzakki (7 tahun) ini mengakui tetap ada kendala yang menghadang. Visi bisnis dan pendanaan hanya beberapa dari masalah yang muncul. Tentang munculnya anggapan bahwa televisi lokal kerap terbentur masalah dana, Imawan tak menampik. ''Bisa saja, itu tidak salah karena memang ada televisi lokal yang main-main. Artinya, kualitas gambar dan tayangannya jelek. Tapi, ada juga televisi lokal yang beneran.'' Untuk menjalin kebersamaan di antara televisi-televisi lokal, dia percaya kehadiran Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dapat berbicara banyak. Kata sang sekjen, ''Kita percaya bahwa dari lokal-lokal itulah jalinan persatuan akan terbangun dengan indah.''

Sebenarnya, apa kendala televisi lokal?
Umumnya, kendala televisi lokal termasuk JTV pada awalnya tidak melulu berpikir bisnis. Tapi, karena kita orang bisnis, walaupun pada awalnya tidak ada kepentingan bisnis, kita bisa menduga-duga kemungkinan bisnisnya. Untungnya, kita ini mempunyai basic management dan bukan hanya bergelut dengan kerja jurnalistik. Sebelum memimpin, JTV saya sudah mimpin berbagai perusahaan yang ada di Jawa Pos. Sehingga ketika menangani televisi sudah ada feeling bisnisnya. Tapi, bukan itu yang jadi tujuan awalnya.

Tujuan awalnya JTV adalah memberikan wadah berekspresi bagi warga Jawa Timur. Saya tertantang karena saya besar di dunia kesenian. Sebagai rasa terima kasih dari teman-teman grup Jawa Pos, Jawa Timur punya televisi. Indonesia selama ini sepertinya punya Jakarta. Ini yang mendorong kita untuk punya televisi. Maka walaupun saya pemimpin JTV, tapi saya juga ikut senang apabila ada daerah-daerah lain di Jawa Timur yang ingin mendirikan televisi.

Bagaimana dengan soal perizinan? Apakah juga menemui kendala?
Perizinan televisi sesuai regulasi sebenarnya di tangan pemerintah dan KPI. Lalu perbaikannya KPI bersama pemerintah. Hanya saja penjabarannya atau PP-nya yang belum ada hingga saat ini. Kalau PP keluar akan tahu semangatnya bagaimana. Institusi KPI itu baik karena itu bagian independen yang bekerja untuk kepentingan dunia penyiaran. Cuma di dalamnya banyak orang-orang yang nggak benar, terutama di Jawa Timur, sehingga tidak berfungsi dengan baik. Kebijakan KPI juga like and dislike. Kebijakan KPI itu diskriminasi karena ada televisi lain yang datang belum siaran dan belum berbuat apa-apa kepada masyarakat sudah diberi izin yang telah diminta oleh JTV pada tahun-tahun yang lalu.

JTV pernah mengajukan kepada KPI awalnya mendapatkan izin dari gubernur dengan UU 24/2002 tentang otonomi daerah. Sebetulnya itu izin yang sah ketimbang izin televisi-televisi yang ada. Kalau regulasi sudah keluar akan ketahuan ke arah mana perizinan. Dalam UU disebutkan KPI bersama-sama pemerintah, maka KPI yang mengeluarkan karena pintu gerbangnya ada di KPI.

Kabarnya, perizinan bakal disentralisasi ke Kominfo (Departemen Komunikasi dan Informatika) lagi. Benarkah?
Wah, kalau masalah itu saya tidak berkomentar. Tapi, yang saya tangkap, selama ini ada kekhawatiran hal itu akan terjadi. Kalau memang terjadi, berarti kita set back.

Lantas, apa benar akan ada peraturan baru untuk mengatur televisi lokal?
Saya belum mendengar. Yang jelas, PP harus keluar dan membawa semangat lokal. Harapannya, diberi keluwesan yang luar biasa kepada televisi lokal untuk membangun martabat demokrasi.

Ceritanya hingga terjun ke dunia wartawan terbilang unik. Setamat SMA, suami seorang penyiar TVRI Surabaya, Desy, ini sebetulnya diberi amanah oleh orang tuanya untuk menimba ilmu teknik di ITB. Di sana, ia tinggal di kawasan elite di daerah Dago Jati, Bandung. Namun, karena darah seni dan insting kuatnya untuk menulis lebih kuat dari apa yang diinginkan sang orang tua, ia pun 'hengkang' dari kawasan elite tersebut. Imawan lalu memutuskan tinggal di sebuah desa terpencil, kawasan Cimahi. Di tempat inilah, dia mengembangkan kemampuan menulis. Awalnya, setiap karya tulisannya tidak pernah dimuat. Hingga pada akhirnya, ia merasa bisa menulis setelah dari lima karya yang telah ia kirim ternyata tiga di antaranya dimuat. Setelah tujuh bulan di Bandung, ia pindah ke Surabaya dan menjadi penulis lepas di Surabaya Post. Ketika di Cimahi, orang tuanya tidak tahu kalau ia tidak kuliah. Meski begitu, ia tetap mengabari kedua orang tuanya. Ketika di Surabaya dan belum mendapatkan pekerjaan tetap, ia terpaksa menumpang hidup di komunitas seniman Taman Anggrek Surabaya. Bahkan, ketika itu dia rela makan sehari sekali. Agak lama, ia menjadi wartawan Suara Indonesia. Setelah cukup mapan, ia menempuh kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS). Pada gajian kedua, ia mulai berani pulang ke rumah orang tuanya dan berterus terang tentang keadaannya selama ini.

Apa perbedaan mengelola koran dengan televisi?
Perbedaannya mungkin hanya terletak pada mental pengelolanya saja. Orang koran kalau punya televisi, mentalnya beda dengan orang televisi yang punya koran. Ini karena orang koran tidak terbiasa dengan belanja besar untuk produksi. Mereka terbiasa memproduksi sesuai dengan kebutuhan. Dalam segi operasional, mereka paling cuma modali wartawannya. Dengan dibekali dengan kamera, mungkin sudah bisa membuat berita satu halaman. Paling banter cuma berangkatkan wartawan ke luar negeri.

Bagaimana dengan televisi? Apa harus ada perlakukan khusus? Kalau televisi, karyawan atau wartawannya harus berangkat dengan cameraman dan biaya operasionalnya dua kali lipat. Mereka nggak mungkin liputan dengan menggunakan motor. Kalau nekad, bisa rusak kameranya. Bisnis televisi juga hampir sama dengan bisnis penerbangan. Ada atau tidak ada penumpang harus tetap berangkat. Jamnya tetap. Ketika panel on dinyalakan, itu sudah berarti uang yang harus dikeluarkan. Biayanya lebih mahal. Orang koran juga dipacu untuk kreatif membuat terobosan bagaimana mendatangkan uang dalam setiap produksi. Oleh karena itu harus jeli dalam menangkap tren. Setiap bulan, kita juga buat rekor-rekor Muri sebagai terobosan.

Apa pengalaman paling menarik selama ini?
Saya senang bekerja di televisi karena kreativitas dipacu terus. Ketika dapat menemukan identitas diri, kita merasa cukup puas. Meskipun awalnya, kita cukup pusing juga mau ngisi dengan acara apa televisi ini. Hasil kreativitas kita juga lebih konkret karena hasilnya dapat langsung dinikmati. Orang koran kalau mengeluarkan uang yang besar pasti akan berpikir dua kali. Padahal, bagi orang televisi itu hal yang lumrah. Saya belajar mental itu sekarang. Belajar tidak eman mengeluarkan uang untuk sebuah produksi. Dan hasilnya, sekarang lumayan mulai terbiasa. Saya dapat pelajaran dan mentalitas baru ketika terjun di dunia televisi. Dan sekarang, kerja kita saat ini sudah terukur.






favorite site: www.tribun-timur.com

No comments: