Email ini diforward oleh Sony Set ke milis layarkata network pada tanggal 6 Januari 2006. Lebih dari satu tahun yang lalu. Mungkin inilah salah satu korespondensi Dhani Iqbal dengan pe-monopoli data bisnis televisi berupa tv rating dan tv share. Mungkin ini adalah salah satu bahan dia menulis bukunya Matinya Rating Televisi yang kontroversial dan sempat diperdebatkan di milis mediacare dan beberapa milis internal news TRANS TV.

——

Kepada Bapak TM. Dhani Iqbal yth.,

Terima kasih atas tulisan Bapak tentang layanan pengukuran
kepemirsaan televisi yang lebih dikenal dengan Television Audience
Measurement (TAM) atau TV Rating.

Sebagai informasi branding kami untuk layanan TAM ini sekarang adalah
AGB Nielsen Media Research, perusahaan baru hasil joint venture
antara VNU MMI-Nielsen Media Research International dengan AGB Group
dalam pengukuran kepemirsaan televisi yang beroperasi secara global
(5 Agustus 2004). Adapun cakupan negara dalam joint venture ini
adalah 30 negara dengan lebih dari 42.000 rumah tangga yang
berpartisipasi sebagai panel. Kantor pusat kami (global operations)
berada di Swiss; sementara kantor holding company kami VNU tetap di
Belanda dan New York dan kantor pusat AGB Group berada di Italia.

Di Indonesia, penyelanggara survey TV Rating sebenarnya telah
mengalami beberapa kali perubahan besar sehubungan dengan global
merger dan akuisisi yang telah terjadi 4 kali. Bermula dengan Survey
Research Indonesia (SRI) yang mengawali pelayanan pengukuran
kepemirsaan televisi untuk industri penyiaran dan periklanan
Indonesia sejak tahun 1990, kemudian ACNielsen Media International,
Nielsen Media Research dan kini AGB Nielsen Media Research.

Branding Nielsen kami yang lain adalah ACNielsen, untuk layanan riset
pemasaran manufaktur dan retailer serta Nielsen Media Research, untuk
layanan riset media selain pengukuran kepemirsaan TV (pembaca media
cetak, pendengar radio, belanja iklan dll.).

Berikut ini adalah penjelasan kami mengenai bagaimana mengukur dan
memanfaatkan rating.

Pengukuran kepemirsaan televisi yang kami lakukan saat ini mencakup 9
kota besar (Jabotabek, Bandung, Semarang, Yogkyakarta,
Surabaya+Gerbangkertasila, Denpasar, Makassar, Medan dan Palembang)
dengan melalui alat Peoplemeter yang dipasang di rumah responden.

Teknologi Peoplemeter hanya mengukur jumlah penonton yang sedang
menonton paling tidak 1 menit (atau minimum 17 detik) tanpa
memperhitungkan preferensi, suka atau tidak suka, dan apakah kualitas
programnya baik atau buruk.

Jadi, TV Rating suatu program hanya menyajikan data kuantitatif dan
tidak memberikan informasi mengenai kualitas program tersebut
(misalnya alasan: suka tidak suka, mengapa ditonton, dan parameter
kualitatif lainnya).

Rating adalah presentasi dari penonton suatu acara dibandingkan
dengan total atau spesifik populasi pada satu waktu tertentu. Dalam
hal ini yang diukur adalah kuantitas bukan kualitasnya, seperti
halnya menjual tiket bioskop. Rating hanya mengukur keluar-masuknya
penonton setiap menit.

Selain itu angka rating dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor,
misalnya durasi suatu program, program tandingan, kualitas resepsi
penangkapan siaran serta penonton yang ada (jadwal tayang, waktu-
waktu insidental juga pola kebiasaan penonton di daerah tertentu).

Dengan perhitungan rating yang menit-permenit, panjangnya program
turut mempengaruhi rating program tersebut, misalnya program yang
tadinya berdurasi 30 menit mempunyai rating 10%, ketika diperpanjang
menjadi 60 menit, ratingnya turun menjadi 8%, dikarenakan angka
pembagi yang semakin besar. Demikian juga dengan kualitas gambar
yang diterima di rumah penonton, jika memang kurang jelas, penonton
akan cenderung enggan `masuk’ menonton saluran tersebut, sebagus
apapun program yang ditayangkan. Sebaliknya, saat-saat `peak hour’
jika setiap saluran menyajikan jenis program yang sama, maka penonton
akan diberi pilihan yang tidak terlalu banyak. Acara-acara
insidentil seperti World Cup, liburan sekolah, bencana alam tsunami,
bom, dll dapat mendongkrak rating dalam arti meningkatkan penonton
terhadap program tertentu.

Dalam penentuan responden, kami menggunakan metode “Stratified
Random” atau acak bertingkat dan dikontrol berdasarkan kelas sosial
ekonomi (SES) yang ada juga berdasarkan rumah tangga yang memiliki
televisi. Sehingga sampel yang didapatkan adalah proposional dan
mewakili rumah tangga yang mempunyai TV dari semua kelas ekonomi.
Adapun kriteria dari responden adalah pria dan wanita usia 5 tahun ke
atas, di rumah tangga yang memiliki TV dalam keadaan baik. Sebagai
bagian dari perusahaan global, metodologi survey kepemirsaan televisi
di Indonesia juga harus dilakukan sesuai dengan Global Guidelines for
TV Audience Measurement (GG TAM) yang juga diterapkan di negara-
negara lain di seluruh dunia yang mengatur treshold dan benchmark
penyelenggara TV Audience Measurement; karena bagi para pengguna
terutama yang berskala internasional data 1% rating yang dihasilkan
untuk Indonesia harus sama proses dan pengertiannya dengan 1% rating
di negara manapun.

Sistem survey/teknologi yang digunakan kami di 9 kota adalah
Peoplemeter dimana setiap responden yang terpilih akan dipasang alat
Peoplemeter ini didalam TVnya yang dapat mendeteksi frekuensi TV.
Alat ini juga terdiri di handset (seperti remote control) yang sudah
diprogram untuk mencatat setiap anggota rumah tangga yang ada.

Kemudian setiap anggota rumah tangga yang menonton TV, akan menekan
tombol di handset yang sudah ditentukan untuk responden tersebut atau
memencet lagi kalau selesai menonton. Secara otomatis, alat yang
kita pasang di TV tersebut akan mengumpulkan setiap acara yang
ditonton oleh setiap rumah tangga dalam hitungan menit. Dalam sistem
Peoplemeter, kita tidak perlu mengisi kuesioner lagi melainkan hanya
memencet tombol dari waktu mulai menonton TV dan selesai menonton,
sehingga sangat mengurangi `human error’.

Disamping itu kami masih melakukan program QC (Quality Control) yang
sangat ketat baik dalam kunjungan ke panel responden secara berkala
maupun pengecekan data di dalam sistem tersebut. Proses operasional
lapangan, production & processing kami pun harus memiliki seperangkat
Key Performance Indicator yang dapat langsung di check oleh kantor
pusat setiap minggunya untuk kesetaraan kualitas di setiap negara.

Karena data TV Rating mencakup data setiap menit: kepemirsaan
(viewing), demografi & rumahtangga, perpindahan saluran (switching),
program termasuk iklan yang ditayangkan; maka melalui alat analisa
data dalam bentuk software (software analysis tools) pengguna dapat
melakukan data mining sendiri untuk menganalisa berbagai segi
kepemirsaan TV maupun performnace program & iklan di TV.

Dengan demikian, data rating ini dapat dimanfaatkan dari berbagai
segi yang berbeda oleh para pengguna data, misalnya para broadcaster
& program producer (stasiun TV dan production house) serta pemasang
iklan (biro iklan & pengiklan), baik untuk perencanaan pada tahap
strategis maupun taktis.

Bagi program producer, analisa supply dan consumption dapat
memberikan informasi tentang program-program apa saja yang sudah
oversupplied atau masih undersupplied. Oversupplied artinya
presentasi jumlah program atau jam tayang jauh lebih besar dari yang
ditonton atau dikonsumsi seperti program hiburan dan berita. Program-
program yang termasuk dalam kategori ini tidak berarti mempunyai
rating kecil. Tingginya jumlah jam tayang bisa lebih menunjukkan
tingkat kompetisi yang lebih besar di genre tersebut karena banyaknya
pemain yang ramai-ramai bergelut di sana, sehingga bagi sebuah
program baru kemungkinan akan lebih sulit untuk `muncul’ ke
permukaan. Sebaliknya dengan program undersupplied menunjukkan lebih
besarnya presentasi waktu menonton dibandingkan presentasi jumlah jam
tayang misalnya program anak-anak, serial dan movie (film). Ini
menunjukkan lebih besar kesempatan untuk memproduksi acara di genre
tersebut.

Bagi pemasang iklan, angka rating biasanya digunakan untuk planning
and post evaluation sebuah kampanye merek. Pada tahap planning,
pemasang iklan akan memilih program yang memiliki rating dan index
yang relatif tinggi untuk target pemirsa yang dituju. Selain itu,
pemasang iklan juga memperhatikan citra dan kecocokan program
terhadap merek tersebut. ”Ad clutter” juga mempengaruhi pemilihan
program untuk beriklan. Program yang spektakuler dari segi rating,
pasti akan mempunyai antrian panjang pengiklan yang berminat. Hal
ini tidak efektif karena semakin panjang jeda iklan, selain sulit
bagi penonton untuk mengingat iklan apa saja yang ditayangkan, juga
berakibat pada `hilang’nya sebagian penonton. Penonton terlanjur
pindah saluran pada jeda iklan tersebut mungkin kembali lagi ketika
program dilanjutkan, mungkin juga tidak.

Nilai rating yang kecil bukanlah akhir dari segalanya. Selain dari
rating, kita juga dapat mempertimbangkan Channel Share, yang
memperlihatkan persentase penonton suatu program terhadap “available
audience”. Jika TV rating menunjukkan persentase penonton suatu
program dibandingkan dengan total seluruh populasi TV, channel share
menunjukkan persentase penonton suatu program terhadap jumlah yang
sedang menonton pada saat itu. Untuk analisa yang lebih mendalam
dapat digunakan nilai Indeks, yang akan mencerminkan dengan lebih
baik tingkat efektifitas suatu program dalam menjangkau segmen
penonton yang diinginkan.

Kiranya penjelasan ini bermanfaat dan kami harap Bapak dapat
meluangkan waktu untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari kami.

Salam,
Winda Ekariany
Sr. Communications Executive
PT AGB Nielsen Media Research Indonesia