sumber: http://yunitamandolang.wordpress.com/2007/07/08/buruk-radio-riset-dibelah/
Buruk Radio Riset Dibelah
Bagaimana bila pengelola radio diibaratkan seperti pilot yang sedang melintasi badai?
BBC World Service membentuk departemen riset khalayaknya secara resmi tahun 1936, 12 tahun sejak lembaga penyiaran publik itu berdiri. Riset khalayak dipercaya sebagai sumber informasi untuk melayani pendengar yang terus berkembang. Informasi itu juga membantu pihak manajemen mengalokasikan sumber dayanya dengan lebih baik lagi dalam melayani publik.
Di Amerika, sejak awal kelahirannya, radio (juga televisi) dikelola secara komersial. Seluruh riset khalayak didasarkan pada prinsip pemasaran. Dasar pikirannya, orang akan tertarik mendengar radio apabila mereka bisa memperoleh program yang mereka inginkan. Ini bisa didapat dari riset khalayak.
Di Indonesia, kegiatan meriset khalayak sudah lama diperdebatkan di kalangan pebisnis radio. Utamanya sejak tahun 80-an dan semakin mendapat perhatian segera setelah Survey Riset Indonesia mengeluarkan hasil risetnya. Sebagian merasa, riset khalayak itu penting dan karenanya sudah dicoba untuk dijalankan, sebagian lagi berpura-pura menganggapnya penting. Mereka enggan melakukannya dengan alasan tidak ada waktu, tidak ada sumber daya manusia yang memadai, tidak cukup uang dan sederet alasan lainnya. Perdebatan berlanjut pada cara memandang hasil riset. Ada yang beranggapan, riset itu momok, yang mampu membunuh bila hasilnya tidak sesuai harapan. Banyak juga yang menganggap riset tak dapat dipercaya. Buruk rupa cermin dibelah.
Dampaknya, antara lain, kurang pahamnya pengelola radio Indonesia menentukan prime time-nya. Achjuman A. Achjadi, managing director Starcom, sebuah perusahaan periklanan Jakarta, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Unesco, Oktober dan November lalu, mengatakan, radio Surabaya kebanyakan menentukan prime time pukul 06.00 - 10.00 dan 16.00 - 20.00. Padahal, kalau dibandingkan dengan perhitungan Nielsen Media Research, penentuan itu tidak cocok. Pada beberapa radio, pendengar terbanyak justru pada pukul 21.00 – 24.00. “Bagaimana sih radio menentukan harganya?” Achjadi bertanya.
Errol Jonathans menuturkan pengalamannya selama 20 tahun mengelola radio Suara Surabaya FM 100.55. Katanya, kegiatan riset khalayak radio selalu disambut pro-kontra dengan riuh rendah; apapun hasilnya dan siapa pun lembaga penyelenggaranya. Sensitifitas serta reaksi kritis sangat terasa di lingkungan radio swasta yang tergabung dalam Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).
Penolakan terhadap hasil riset, menurut Jonathans, cenderung muncul dari radio-radio yang berada pada peringkat non-10 Besar. Mereka kuatir publik tahu kalau radio-radio tersebut peringkatnya di luar 10 besar. Ini bisa berimplikasi pada kemerosotan iklannya.
Bisnis radio itu unik. Pemilik surat kabar dapat menghitung pembacanya melalui sirkulasi entah harian, mingguan, bulanan, atau kapan pun mereka butuhkan. Bagaimana pemilik radio menghitung pendengarnya? Memang benar, radio memproduksi program siaran yang dinikmati pendengar. Tapi pendengar tidak akan pernah membayar sepeser pun walaupun mereka telah mendengar program siaran kita seharian penuh.
Masalahnya menjadi makin tidak sederhana saat radio berurusan dengan iklan. Akses terhadap sejumlah pendengar radio dengan kualitas dan karakteristik tertentu, akan ditukar dengan sejumlah uang lewat penyiaran iklan. Bagaimana radio dapat mengetahui jumlah, kualitas dan karakteristik pendengarnya?
Sejauh ini, hanya riset khalayak yang mampu menjawab permasalahan demikian secara lebih terukur. Riset khalayak berperan sebagai umpan balik pendengar, selain ‘etalase’ yang memungkinkan pengiklan melihat-lihat dan menimbang-nimbang apakah pendengar radio “xyz” bisa dijadikan calon konsumen mereka.
Tapi, tetap saja bukan perkara mudah untuk menanamkan keyakinan akan pentingnya riset khalayak. “Bahkan ada yang sampai ‘alergi’ riset,” kata Errol Jonathans.
Hasil riset ACNielsen juga dipertanyakan. Ini karena, ACNielsen sering bikin kesalahan dalam mengumpulkan data awal obyek risetnya. Secara keseluruhan, kesalahan itu tidak terlalu mempengaruhi proses penelitiannya, tapi justru fatal di mata orang radio, sebagai obyek risetnya. Contohnya, ada radio yang sudah mati, tidak mengudara, tapi pada hasil risetnya radio tersebut masih punya sejumlah pendengar.
Ada juga yang melontarkan isu yang berkembang pada praktisi radio tentang adanya kecurigaan, bahwa petugas pewawancara riset di lapangan bisa disuap oleh radio tertentu.
Masih ada argumen lain. Hasil riset khalayak bisa berbeda jauh dengan data-data surat atau penelepon yang dimiliki radio itu. Di titik inilah reaksi penolakan pengelola radio akan pentingnya riset, semakin menguat. Mereka percaya, data penelepon dan surat yang masuk ke studio adalah gambaran utuh pendengarnya.
Sampai di situ saya teringat pandangan Graham Mytton, mantan kepala departemen riset khalayak BBC World Service (1982-1996). Mytton mengatakan orang yang aktif mengirim surat atau menelepon radio tidak dapat mewakili seluruh pendengar. Jenis kepribadian mereka berbeda dengan orang kebanyakan atau pendengar pasif. Sepucuk surat hanya bisa mewakili penulisnya sendiri, bukan orang lain.
Buat Mytton, lumrah jika riset khalayak cukup sulit dipahami. Bukan karena orang mau tidak mau harus berurusan dengan angka-angka dan teori yang sudah terlanjur dianggap memusingkan, tapi lebih kepada sulitnya membongkar pemahaman bagaimana seharusnya sebuah riset dijalankan.
Mytton dulu pernah memimpin program riset yang sangat kompleks di 100 negara lebih. Unesco sempat mengundangnya untuk mengampu peserta lokakarya riset khalayak di Medan, Yogyakarta, Samarinda dan Makassar, pada September 2001 lalu.
“Protes keras seperti ini biasa. Itu karena mereka belum paham bagaimana membaca dan menanggapi keseluruhan hasil riset dan merasa tidak puas karena data radionya tidak sesuai seperti yang diinginkan. Jadi mereka mencari-cari cara untuk mendiskreditkan lembaga risetnya,” kata Mytton kepada saya di tengah-tengah silang-sengketa peserta lokakarya tadi.
Ketika seminar berlangsung, banyak kritik dilontarkan terhadap Ika Jatmikasari dan Bayu Pambudi dari Nielsen Media Research. Di Semarang, seorang peserta mengungkapkan bahwa pada hasil riset Nielsen Media Research 2002, radio Cendrawasih AM 828—yang sudah berganti nama menjadi Suara Semarang FM 98.8—datanya tidak muncul. Yang ada, justru data “Cendrawasih.” Padahal, kata peserta lain, hasil riset yang salah akan merugikan radio bersangkutan. “Mengapa Nielsen mem-published data yang salah?” tanya peserta lain.
Bayu Pambudi menjawab, setiap kali akan memulai survai, pihaknya selalu mengecek radio-radio yang akan disurvai. Data yang dikumpulkan adalah nama radio sekaligus frekuensinya, yang kemudian dicetak dalam bentuk stiker. Stiker tersebut akan menyertai buku harian untuk memudahkan responden saat mengisinya. Maksudnya untuk berjaga-jaga, bila responden hanya mengetahui frekuensi radio yang didengarnya, tapi tidak mengetahui nama radionya, dan sebaliknya.
Menurut Pambudi, semakin lama semakin tidak mudah mengecek modulasi radio-radio yang mengudara. Lebih-lebih bila pengecekan dilakukan dengan tombol pencari frekuensi digital, banyak radio yang terlewat—terutama pada radio dengan signal audio yang kurang kuat.
Untuk mengantisipasi kurang lengkapnya data radio yang didapat, atau adanya radio yang baru mengudara pada saat survai dijalankan, Nielsen Media Research menyertakan juga stiker-stiker kosong yang dapat diisi sendiri oleh responden.
Sering juga terjadi, bila sebuah frekuensi radio sudah didapat, nama radionya tidak diketahui. Bila itu terjadi, Nielsen Media Research memutuskan untuk mencantumkan nama perusahaan dari radio yang memiliki frekuensi tersebut. Itulah yang terjadi juga pada radio Suara Semarang yang mempunyai nama Cendrawasih pada akte notarisnya.
Chatarina Tutiek Bintarnie dari radio Suara Semarang menanyakan kapan Nielsen mendapatkan data radionya? Pambudi menjawab, data didapat tahun 2002. “Aneh sekali, padahal kita sudah memakai nama Suara Semarang sudah lama, sejak tahun 1996,” Katharina menukas cepat. “Tahun depan kita akan merangkul PRSSNI untuk mendapatkan data yang lebih valid,” kata Pambudi.
Keakuratan penyebutan nama-nama radio yang dimiliki Nielsen Media Research, sebenarnya tidak sulit bila ingin ditingkatkan. Pengelola radio hampir dapat dipastikan senang hati memberikan informasi tambahan. Institusi riset mana pun pasti akan kewalahan bila harus mencari sendiri radio apa saja yang sudah berganti nama atau berganti frekuensi. Bahkan ada radio yang beberapa kali mengganti namanya tapi tetap mengudara dengan frekuensi yang sama.
Gunadi Sugiharso, presiden direktur Lowe Indonesia—perusahaan periklanan yang pada tahun 2002 masih tetap ada di tingkat teratas dalam meraup belanja iklan (Rp 347 milyar lebih) mengatakan, “Untuk perusahaan-perusahaan khusus yang melakukan riset, saya kira kita harus appreciate, karena tanpa mereka kita tidak akan bisa maju. Tapi sebaliknya, demikian pun mereka harus selalu meningkatkan diri dalam hal kualitas dari output mereka,” katanya.
Sugiharso mengingatkan bahwa “sebetulnya kita sendirilah yang harus hati-hati, agar jangan sampai kita hanya melihat pada masalah-masalah yang ada saja sehingga menganggap semua yang dilakukan lembaga riset menjadi tidak valid.”
ADAKAH metode riset yang paling tepat, paling akurat dan paling murah? Celakanya, tidak ada. Dalam bukunya Knowing Your Audience, Dennis List, manajer riset Australian Broadcasting Corporation (ABC) pada 1989-1998, menulis, “tidak ada metode riset yang terbaik, melainkan masing-masing tepat digunakan untuk suatu situasi tertentu.”
Nielsen Media Research menggunakan metode buku harian untuk pengukuran khalayak radio tahun 2002. Metode ini memungkinkan pengguna hasil riset dapat memetakan perilaku pendengar selama sepekan. Hal yang tidak mungkin bisa dilakukan pada survai dengan wawancara tatap muka, yang hanya bisa merekam perilaku pendengar pada sehari sebelumnya saja.
Kelebihan lain dari metode buku harian, responden yang merasa keberatan atau tidak punya waktu untuk diwawancara, biasanya bersedia untuk mengisi buku harian. Buku harian sangat membantu responden untuk segera mencatat kegiatan mendengar radionya. Sementara pada wawancara tatap muka, responden harus dibantu pewawancara riset untuk mengingat pada jam berapa dan radio apa yang didengarnya kemarin. Metode buku harian juga relatif lebih murah, karena hanya membutuhkan beberapa lembar kertas untuk dibagikan pada respoden.
Ada kelemahannya. Responden bisa saja lupa untuk mencatat kegiatan mendengar radionya. Atau, responden tidak mempunyai ingatan yang akurat. Bisa jadi juga, responden mencatat apa yang biasanya didengar, bukan apa yang sebenarnya didengar.
Berbeda dengan televisi. Nielsen Media Research menggunakan people meter untuk mengukur khalayak televisi. Dibandingkan dengan buku harian, alat elektronik ini lebih akurat. Alat yang diletakkan di dekat pesawat televisi masing-masing responden ini mampu mencatat tanggal, waktu dan televisi yang dinyalakan. Ada tombol atau nomor yang berbeda untuk tiap anggota keluarga. Dengan cara ini paling tidak dapat dicatat, kapan, program apa dan saluran televisi apa yang ditonton, siapa yang menonton, umur, jenis kelamin, dan pekerjaannya.
Bukannya tanpa kritik. Di akhir tahun 1989, sebuah survai yang didanai oleh American Broadcasting Corporation (ABC), Columbia Broadcasting System (CBS) dan National Broadcating Corporation (NBC) menyatakan adanya bias pada hasil pengukuran people meter. Utamanya pada program anak-anak yang disiarkan tiap Sabtu pagi. Masalahnya, ada kecenderungan responden capek menekan-nekan tombol people meter untuk merekam perilaku menonton televisinya. Apalagi anak-anak yang tentu lebih tidak dapat diandalkan untuk bisa menekan tombol yang seharusnya, saat mereka menyalakan perangkatnya.
Kemajuan teknologi terus dimanfaatkan untuk mengembangkan metode riset demi meningkatkan akurasi. Graham Mytton bercerita pada saya bahwa teknologi pengukuran khalayak untuk radio yang juga dapat digunakan untuk TV sudah dikembangkan. Alat pengukur yang bisa dipakai responden sepanjang hari itu berbentuk jam tangan atau pager kecil, yang bisa mendengar semua signal audio, kemudian mencatatnya dalam bentuk digital. Pada malam harinya, saat responden hendak tidur, perekam data dilepas untuk proses pengisian baterei. Pada saat itulah, data yang terkumpul berupa kode-kode di-download lembaga riset melalui telepon yang dihubungkan modem.
Sementara alat pengukur yang berupa jam tangan, setelah digunakan untuk merekam audio yang didengar oleh responden selama dua minggu, akan diserahkan pada lembaga riset untuk dicocokkan dengan database yang ada.
Mytton, penulis buku Handbook on Radio and Television Audience Research, pernah menulis kemajuan teknologi riset itu dengan judul Turn On, Tune In and Get Measured by Your Watch pada jurnal bulanan Market Research Society, terbitan London, Juni 1998.
Alat canggih seukuran pager, seberat 75 gram itu, bernama Portable People Meter (PPM). Arbitron, sebuah firma riset pemasaran dan media internasional yang melayani praktisi penyiaran, pengiklan dan perusahaan periklanan di Amerika Serikat, Meksiko dan Eropa, mengembangkan alat ini sejak 1992. Sistemnya terus-menerus ditingkatkan, dites dan disempurnakan. North County Times edisi Oktober 2002 menyebutkan, Nielsen Media Research turut serta dalam pengembangan proyek PPM ini. Bila tidak ada aral melintang, untuk pasar Amerika, teknologi ini akan mulai dioperasikan di Philadelphia, pertengahan tahun 2003.
Pada tahun 2001, Swiss, negara pertama yang memperkenalkan Radiocontrol, alat pengukur khalayak radio berbentuk jam tangan. Proyeknya didanai oleh pemerintah Swiss, dalam hal ini Swiss Commission for Technology and Innovation (CTI). Ia bekerjasama dengan perusahan riset pasar pertama dan terbesar di Jerman, Growth from Knowledge (GfK), yang memiliki lebih dari 110 cabang yang tersebar di seluruh dunia.
Tapi tentu saja solusi yang ditawarkan dari teknologi ini jadi benar-benar mahal. Bayangkan saja bila survai dilaksanakan di lima sampai tujuh kota, dengan 5.000 – 7.000 responden, paling tidak lembaga riset harus melengkapi masing-masing respondennya dengan jam tangan atau pager beserta charger-nya. Bandingkan dengan metode buku harian yang dilakukan Nielsen Media Research, yang hanya membutuhkan tujuh lembar kertas saja untuk dibagikan pada tiap responden.
Dalam salah satu bagian buku Dennis List, yang menggeluti riset ini sejak 1970-an silam, menulis, bahwa riset yang murah dan cepat, jarang yang akurat. Riset yang cepat dan akurat, terkadang tidak mungkin murah. Riset yang murah dan akurat biasanya lambat. Jadi, metode yang terbaik adalah dengan menggabungkan beberapa metode riset, karena setiap metode riset mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Bila metode riset digabungkan, kelemahan yang ada akan dapat ditanggulangi.
RISET kuantitatif atau survai yang biasa dijalankan oleh institusi riset seperti ACNielsen, tidak dapat mengukur kualitas program, pendapat pendengar terhadap program, atau mengetahui karakteristik pendengar radio secara lebih detil. Kalau ingin mengetahuinya, perlu dilakukan riset tambahan. Riset kualitatif akan mampu menjawab preferensi pendengar terhadap program radio.
Sekitar 40 persen peserta seminar Unesco menyatakan sudah pernah melakukan riset kualitatif dengan melakukan diskusi kelompok (focus group discussion) dan wawancara melalui telepon. Yang perlu ditingkatkan dalam pelaksanaan riset kualitatif semacam ini adalah proses pelaksanaannya. Bagaimana pun juga ada prosedur yang harus dipahami saat harus memilih siapa peserta diskusi yang diundang, bagaimana mengelompokkan peserta diskusi sesuai dengan karakteristik demografinya, berapa lama maksimalnya sebuah diskusi dijalankan untuk menghindari kebosanan peserta, dan lain sebagainya.
Graham Mytton mengatakan, siaran BBC World Service Mesir pernah mengadakan diskusi kelompok tahun 1996 dengan menggunakan cara personifikasi. Para peserta diskusi diberi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan BBC dan siaran radio lainnya yang mereka dengar.
Ada banyak persamaan dalam penggambaran yang diberikan peserta. Ada yang menggambarkan, siaran BBC sebagai sosok pribadi yang serius dan jujur, seorang yang bertampang klasik dengan kumis, seorang juru bicara yang andal, seorang yang angkuh, tertutup. Ada yang menggambarkan seperti Margaret Thatcher, seorang wanita yang berkepribadian kuat. Jadi, hampir semua personifikasi BBC adalah maskulin, sesuatu yang dapat dipercaya dan diandalkan, namun kaku, serius dan tidak ramah.
Peserta diskusi memberikan gambaran yang berbeda pada Radio Monte Carlo, sebuah stasiun internasional yang terkenal di Mesir dan di segenap pelosok Timur Tengah. Citra yang digambarkan, radio Monte Carlo seperti seorang wanita cantik yang menarik dengan dandanan yang menor atau seperti seorang pria muda yang mengenakan kemeja dengan telanjang dada, menggunakan gelang emas dan sedang mengendarai mobil BMW.
Contoh di atas bisa digunakan untuk mengetahui citra radio. Juga sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui citra radio pesaing. Mengingat bahwa radio selalu diposisikan sebagai kawan bagi pendengarnya, tentu perkara citra radio menjadi sangat penting untuk diperhatikan demi mempertahankan dan meningkatkan loyalitas pendengar.
Riset kualitatif lebih disukai para produser dan pengelola program karena mampu memberikan gagasan-gagasan baru untuk program radio yang disukai pendengar. Untuk mengindari bias, biasanya pemandu riset kualitatif bukanlah karyawan dari radio yang bersangkutan, paling tidak bukan karyawan yang biasa berhubungan dengan pendengar. Bias mudah terjadi bila responden merasa tidak enak hati kalau pendapatnya didengar langsung oleh karyawan radio, sehingga mendorong mereka untuk mengatakan hal-hal yang baik saja.
JUMLAH radio semakin banyak dan makin tersegmentasi. Bahkan, di kota-kota besar praktek fragmentasi sudah dijalankan. Dengan sendirinya, yang lebih relevan untuk menghitung peringkat adalah jumlah pendengar terbanyak berdasarkan masing-masing target pendengarnya. Top 10 Radio in general is no longer relevant. Begitu yang tertulis dalam salah satu lembar presentasi Nielsen Media Research.
Dulu, peringkat hanya dibuat berdasarkan jumlah pendengar terbesar saja. Sekarang, itu tidak cocok lagi. Kini, sebagian radio, utamanya di kota-kota besar, sudah punya segmen pendengar sendiri-sendiri. Segmentasi dilakukan untuk memenuhi tuntutan pasar. Segmentasi diperlukan untuk diferensiasi.
Dengan kondisi seperti itu, radio M97 Jakarta—stasiun radio rock klasik, yang mengambil segmen usia 20 -45 dengan SES AB—misalnya, tidak akan mungkin ada di peringkat pertama dalam survai yang mengukur jumlah pendengar radio secara umum, dari usia 10-60 tahun, all-SES, all-sex. Kenapa? Karena jumlah pendengar rock klasik, sebagian besar adalah pria, sedangkan jumlah pria lebih sedikit dibanding wanita.
Demikian juga dengan kelompok SES-AB. Populasi dengan SES-CDE lebih banyak dibanding dengan SES-AB. Kalau pengukuran peringkat dilakukan secara umum, tentu M97 tidak akan pernah ada berada di peringkat teratas. Tapi kalau pengukuran peringkatnya didasarkan pada target audience-nya, bisa jadi M97 ada di posisi teratas untuk kelompok umur 20 - 45, pria, SES-AB. Kalau dihubungkan dengan produk, tentu target audience ini jadi target konsumen bagi produk mobil, misalnya. Jadi, pengukuran berdasarkan target audience cocok untuk mengukur ketepatan segmentasi bagi pengelola radio, sekaligus cocok dan dibutuhkan bagi produsen.
Achjuman Achjadi mengatakan, saat pengiklan dan perusahaan periklanan membicarakan target konsumen, mereka tidak membicarakan peringkat. Setiap produk, targetnya beda. Sehingga, radio yang paling banyak mempunyai pendengar dengan karakteristik sesuai dengan target konsumen-lah yang akan dijadikan media iklannya. “Emangnya kita pakai data ranking itu? Kagak!”
Saya sendiri bertanya-tanya, mengapa peringkat masih juga laku dijadikan topik pembicaraan di kalangan praktisi radio. Sekitar tahun 1995-1998, saya bekerja di radio Wijaya FM 103.35 Surabaya yang namanya selalu ada di peringkat atas pada hasil riset Survey Riset Indonesia, ACNielsen Indonesia, juga Frank Small, sampai tahun ini. Saya selalu melengkapi proposal program yang akan diajukan pada pengiklan dengan grafik jumlah dan karakteristik pendengar radio Wijaya yang sesuai dengan target konsumen klien. Tapi data itu dipersiapkan lebih sebagai alat bantu bagi klien untuk menetapkan pada jam berapa saja program dan iklan bisa dengan tepat diudarakan. Data-data itu bukan untuk memberitahu klien kalau radio Wijaya ada di peringkat atas.
Sangat berbeda saat saya bekerja di radio Giga FM 99.85 Sidoarjo yang baru berdiri tahun 1996 itu. Nama radionya belum pernah masuk dalam daftar 10 besar hasil riset dari mana pun. Tapi dengan data yang ada, kelebihan yang sudah diraih namun belum bisa terlihat di mata klien, justru lebih bisa ditonjolkan. Dengan harga iklan yang relatif lebih rendah, juga dengan karakteristik pendengar radio yang beda, berdasarkan temuan dari hasil riset, ternyata bisa memberikan nilai tambah bagi klien. Dengan demikian, pengiklan bisa diyakinkan, bahwa dengan menambah frekuensi penyiaran iklannya di radio Giga akan mendapatkan penambahan jumlah pendengar yang cukup signifikan. Signifikan dalam artian, bukan sekedar duplikasi dari pendengar di radio yang lebih populer.
Dari dua pengalaman yang berbeda, saya berkeyakinan bahwa riset justru akan lebih banyak dapat dimanfaatkan untuk membantu pengiklan ‘menemukan’ media iklan (radio), yang bisa jadi ternyata memiliki potensi sekaligus efektif.
Achjadi, yang pernah menjabat sebagai direktur riset perusahaan konsultan marketing dan riset Taylor Nelson Sofres (dulu Frank Small & Associates), cukup sabar memberikan pemahaman tentang bagaimana perusahaannya menentukan media yang akan dipakai. Ia juga memperlihatkan data-data radio yang diolah sedemikian rupa dengan menggunakan data Nielsen Media Research sebagai data awal.
Presentasi Achjadi membuat Nanang dari radio Romantika FM 96.35 Bondowoso, bersemangat melontarkan keinginannya agar radio segera melakukan riset bersama. Tapi Djoko W. Tjahyo, direktur radio El Bayu AM 954 Gresik, yang saat itu menjadi moderator mengatakan, “Bukan saya menakut-nakuti, tapi itu membutuhkan persiapan mental.”
Ia mengungkapkan, pada 2000, misalnya, pengurus PRSSNI Jawa Timur berencana membuat riset bersama. Keputusan didapat dengan melewati voting di antara 41 anggota. Itu pun cuma berselisih satu suara untuk mendapatkan keputusan final.
PADA hasil riset Nielsen Media Research 2002, pengiklan dapat melihat berapa jumlah pendengar masing-masing radio per 15 menit. Pengiklan kemudian akan menggabungkan data ini dengan daftar harga iklan radio yang mereka miliki. Maka mereka akan mendapatkan harga iklan efisien bagi masing-masing radio, yang disebut cost per mille (CPM)—hitungan ongkos yang dikeluarkan pengiklan untuk mencapai seribu kepala. Sampai titik ini, kebanyakan pemilik radio bisa saja heran, “Kenapa harga iklan selama ini justru ditentukan perusahaan periklanan bukan pengelola radio?”
“Yang sering dilakukan itu cost base. Seringkali orang radio datang ke pengiklan dengan mengatakan ‘Pak, saya baru bikin tower loh. Pemancar saya baru diganti. Cost saya meningkat, so harga saya naik segini,’” begitu Chandra Novriadi menirukan perkataan yang sering muncul dari praktisi radio kepada pengiklan. Novriadi, direktur utama Radionet Cipta Karya, sebuah perusahaan periklanan di bawah naungan Masima Corporation, menganggap cara itu tidak efisien. “Masa orang lain disuruh menderita gara-gara kita?”
Kedengarannya memang lucu. Tapi itulah yang paling sering terjadi. Pengelola radio hanya memikirkan berapa uang yang harus dikeluarkannya untuk biaya listrik, telepon, perawatan pemancar, gaji karyawan yang kemudian akan ‘ditagihkan’ kepada pengiklan dalam bentuk biaya penyiaran iklan. Malahan, kadang harga iklan hanya dibuat mirip-mirip dengan harga radio pesaing.
Kemampuan para profesional radio dalam hal riset khalayak juga memerlukan pemikiran. Kesalahan dalam membaca hasil riset, akan berakibat fatal bagi bisnis radio. Menyisihkan dana untuk membekali profesional radio kita dengan kemampuan seperti ini, tentu tidak akan lebih mahal bila dibanding membiayai radio yang terus menerus ‘salah urus.’
Sementara sebagian besar praktisi radio masih berdebat dan ragu tentang perlunya riset, pengiklan dan perusahaan periklanan sudah dapat membandingkan mana harga iklan yang efektif mana yang tidak. Mereka juga mampu melihat besarnya jumlah pendengar dari waktu ke waktu di tiap radio, bahkan boleh jadi lebih mengenali karakteristik pendengar tiap radio berdasarkan data riset.
Tidak heran, bila masih banyak radio yang merasa ‘tertekan’ oleh harga iklan yang disodorkan oleh pengiklan. Dengan kesiapan informasi tentang radio yang dimiliki oleh pengiklan, memang sangat memungkinkan bagi para pengiklan untuk mengatakan pada radio, take it or leave it, pada order yang diberikannya. Sebaliknya, radio kurang cukup data dalam bernegosiasi. Walaupun masih ada beberapa nama pengiklan yang mau memberi harga bagus untuk iklan radio, kegiatan tawar-menawar akan terus berjalan dan tidak akan mungkin ditiadakan.
SEJARAH pertumbuhan radio siaran komersial di Indonesia sejak tahun 1960-an dapat dijadikan alasan utama mengapa radio komersial Indonesia tidak berbasis riset. “Embrio radio komersial saat itu bermula dari ‘main-main’ menjadi ’sungguhan.’ Kesadaran sebagai media-massa pun tidak, apalagi media massa yang selalu berbasis penelitian atau riset,” begitu kata Errol Jonathans.
Perjalanan radio Suara Surabaya kurang lebih serupa dengan kebanyakan radio di Indonesia. Awal pendiriannya juga dikelola dengan pendekatan naluri ketimbang menggunakan hasil-hasil riset pendahuluan. Kiprahnya sama juga dengan radio lain yang mencoba-coba menganalisa perkembangan bisnis radio berdasarkan pengalaman dan kecenderungan yang umum. Bahkan, radio Suara Surabaya juga berperilaku sama dengan radio yang berusaha menyalin hasil riset SRI (Survey Riset Indonesia, sekarang ACNielsen Indonesia) serta sangat sibuk menghitung-hitung posisinya dalam peringkat.
Beruntung radio tersebut sampai pada kesadaran profesionalnya, bahwa bisnis radio siaran perlu ditangani secara ’scientific’ selain tetap mempercayai insting bisnis, seraya mempelajari tahapan sukses yang pernah diraih.
Mendirikan radio pada 10 sampai 30 tahun ke belakang dibandingkan dengan masa sekarang tentu sangat berbeda. Demikian pula cara mengelolanya. Cara-cara lama tentu sudah harus ditinggalkan karena efektifitasnya sudah banyak berkurang. Jumlah radio yang makin banyak, makin sempitnya pasar yang digarap dan kondisi yang berubah cepat, tidak akan cukup diatasi dan ditaklukkan dengan kerja keras dan insting. Untuk meminimalkan kesalahan dalam mengambil keputusan bisnis, perlu informasi-informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Informasi seperti itu bisa didapat dari riset.
Roger D. Wimmer dan Joseph R. Dominick, bertanya pada Frank Bell, wakil presiden sekaligus programming Sinclair Communication, Inc., yang menguasai hampir 25 persen bisnis televisi di Amerika Serikat tentang pentingnya riset, utamanya riset kualitatif. Wimmer adalah presiden direktur sekaligus pendiri Wimmer-Hudson, sebuah perusahaan riset dan pengembangan di Denver Colorado. Sedangkan Dominick, pengajar pada Sekolah Jurnalisme dan Komunikasi Massa Universitas Georgia.
Menjawab mereka, Bell mendeskripsikan pentingnya riset bagi pendatang baru di dunia penyiaran. Menurut Bell, pengelola radio baru dapat dianalogikan seperti pilot yang sedang berusaha keras menerbangkan pesawat dengan aman saat melewati badai, sementara semua alat navigasi macet. Saat turbolensi mengombang-ambingkan pesawat, para penumpang, dengan perspektifnya masing-masing berteriak, memberi saran. “Naikkan pesawat, ada gunung di depan!” Yang lain berteriak dan berkata,”Jangan terbang ke arah sana, awannya mengandung kilat!” Tapi ada juga yang berkata, “Hey, ada pesawat lain datang dari arah kanan!”
Bell mengatakan, bila pengelola radio tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan dari radionya sendiri dan pesaing utamanya, tidak mempunyai pegangan terhadap selera pasar, juga tidak merasa yakin apa yang bisa dilakukan bila esok muncul pesaing baru, berarti pengelola radio itu sama saja dengan terbang dengan mata tertutup.
Tapi riset itu mahal. Asal tahu saja, perangkat lunak yang berisi data sekaligus analisa bisa mencapai Rp 20 juta lebih. Toh Chandra Novriadi—yang juga komisaris Masima Corporation, sebuah induk perusahaan yang konsisten menjadikan bisnis radio sebagai bisnis utamanya—menganggap riset itu murah bila orang mampu memaksimalkan penggunaannya untuk pengambilan keputusan yang memajukan bisnis. Sebaliknya, akan kelewat mahal bila ia tidak mau dan mampu memanfaatkannya.
Novriadi menggunakan hasil riset ACNielsen ditambah dengan kegiatan riset sendiri untuk mengembangkan bisnis radio dan perusahaan periklanan, tempatnya bekerja. “Sekali terjadi kesalahan, kompetitor akan mengambil untungnya!” Dan itulah yang terjadi pada Prambors FM 102.3 ketika bersaing dengan radio lain yang menggarap segmen yang hampir sama, taruhlah radio Hard Rock FM 87.6 dan Mustang FM 100.55.
Belum lama ini, kata Novriadi, Prambors melakukan riset kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam melibatkan 72 responden dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik khalayak pendengar Prambors, yang cepat sekali berubah. Seraya menunjukkan tabel-tabel dan grafik-grafik hasil risetnya, Novriadi menuturkan, “Kalau dilihat dari data Nielsen, tidak dibedakan pengeluaran rumah tangga responden per bulan antara yang di atas 1 juta, 2 juta atau yang 7 juta, karena itu semua dimasukkan dalam satu kategori, SES-A1.”
Novriadi ingin tahu lebih detil berapa pengeluaran rumah tangga pendengar Prambors per bulan. Hasilnya, 34 persen di atas Rp 7 juta. “Ini merupakan buying power yang besar. Dan ini menarik buat kita karena di data riset Nielsen nggak ketemu jumlah itu.”
Melalui riset tersebut dapat diketahui juga apakah pendengar Prambors termasuk sebagai leader atau follower pada “selera musik, fashion, aktifitas, tempat nongkrong dan lain-lain.” Pola penggunaan internet juga dicek, di mana tempat menggunakan internetnya, frekuensinya, jenis pemakaiannya (untuk browsing, chatting atau shopping).
Tahun lalu, pada data ACNielsen, menurut Novriadi, cuma ada tujuh – delapan persen pendengar radio yang menggunakan internet. Untuk pendengar Prambors, didapatkan angka 90,7 persen; khusus untuk segmen pendengar usia 15-24, dengan SES AB. Begitulah usaha riset yang dilakukan Prambors untuk dapat terus memantau perubahan karakteristik pendengar Prambors, yang kemudian akan sangat berguna dalam menunjang kreatifitas program siaran, mempertahankan dan menambah jumlah pendengar, sekaligus menjaring iklan.
Lain lagi dengan radio Suara Surabaya. Radio yang telah berjurnalisme sejak kemunculannya pada Juni 1983 lalu kemudian mengembangkan format jurnalisme interaktif ini banyak diminati mahasiswa sarjana dan pasca sarjana untuk dijadikan obyek riset. Jurnalisme interaktif membutuhkan jajaran gate keeper yang tangguh dalam melayani penelpon sekaligus cerdas dalam menindaklanjuti setiap laporan dan masalah yang masuk. Analisis stressor pada penyiar dan gatekeeper Suara Surabaya adalah salah satu tema riset yang pernah dilakukan oleh seorang mahasiswa pasca sarjana yang kemudian dengan tangan terbuka hasilnya diterima dan dipelajari untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan manajemen radio Suara Surabaya untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan. Suara Surabaya juga melakukan riset bersama-sama dengan lembaga riset lokal, semisal Enciety Surabaya, untuk mengetahui kebutuhan masyarakat mendapat informasi lewat radio, serta gaya hidup dan perilaku.
Errol Jonathans, salah satu penulis buku Radio dan Politik mengatakan, ketika bisnis radio berkembang berupa perlipatan kapital dari iklan yang disebabkan keberhasilan meraup pendengar, proses mempertahankannya ternyata memerlukan dukungan data yang lebih akurat. Sangat berbahaya bila radio yang sukses tidak tahu dengan tepat mengapa dia sukses, sebaliknya juga dengan yang gagal. Atau, untuk menemukan hal apa yang menyebabkan satu radio lebih sukses meraih pendengar dibandingkan radio lainnya, padahal keduanya menyiarkan materi yang sama. Menurutnya, jawabannya sebaiknya didapatkan dari suatu riset.
BEGITU iklan disiarkan dan diperdengarkan melalui radio, secara alamiah pengiklan hampir dapat dipastikan akan bertanya berapa banyak orang yang mendengarnya dan seberapa efektif iklan tersebut dapat menarik minat pendengarnya? “Advertisers, not broadcasters, were the initiators of broadcast research,” kata Roger Wimmer dan Joseph Dominick dalam Mass Media Research, An Introduction.
Kini, data tentang siapa yang mendengarkan dan berapa orang yang mendengarkan, belum cukup. Jenis media yang semakin banyak dan kebiasaan mengkonsumsi media yang juga terus berkembang membuat pengiklan akan semakin berhati-hati memilih media mana yang tepat untuk mengomunikasikan produknya. Achjuman Achjadi mengatakan, pengiklan terus bertanya apa dasar pemikiran perusahaan periklanan memilih media iklan yang satu dari media yang lain.
Sejak lama saya gelisah dengan keberadaan posisi tawar radio di mata pengiklan yang pada umumnya masih rendah. Setelah televisi swasta bermunculan, porsi iklan radio mulai berkurang, padahal jumlah radio terus meningkat.
Televisi mengambil porsi volume iklan terbesar, jauh mengalahkan media lain yang sebelumnya lebih unggul, terutama koran dan radio. Achjadi mengatakan, hal ini terjadi karena televisilah yang paling bisa diukur efektifitasnya. Data riset televisi sudah berisi tentang demografi, rating acara, profil penonton, detil program sekaligus profil penonton tiap programnya, selain menampilkan data kegiatan beriklan masing-masing produsen. Hal yang sama belum bisa didapat di industri radio.
Gunadi Sugiharso yang juga memimpin Initiative Media Indonesia, departemen media independen yang baru saja melepaskan diri dari Lowe Indonesia, menerangkan, pangsa iklan radio yang tadinya 6,1 persen pada 1994, sekarang tinggal 3,5 persen. “Mungkin memang ada yang radionya bagus, bisnisnya juga pasti bagus, meningkat terus. Tapi sebetulnya, peningkatannya bisa jauh lebih besar. Ada potensi yang hilang yang tidak kita sadari.”
Sebenarnya volume belanja iklan di radio mengalami peningkatan setelah 1998, walaupun pangsanya menurun dibandingkan dengan media yang lain. Saya mengartikannya, masih besar harapan untuk meningkatkan pendapatan dari iklan, karena adanya industri yang masih terus meningkatkan investasinya di bidang periklanan pascakrisis.
Pangsa iklan radio di Indonesia tertinggal dengan Malaysia yang mencapai empat persen, Singapura dengan pangsa delapan persen, Thailand yang mampu mencapai 10 persen dan bahkan tertinggal jauh dengan Philipina yang meraih 18 persen untuk pangsa iklan radio.
Mungkinkah potensi radio di Indonesia mampu kembali diraih? Keyakinan besar justru ditumbuhkan oleh Sugiharso, yang perusahaannya turut mendongkrak penjualan Sampoerna Hijau di tahun 2000 menjadi 200 persen di tahun 2001 melalui iklannya, “Geng Hijau.”
“Ada kata-kata mutiara dari Confisius, ‘one picture is word - a thousands words.’ Jadi satu gambar nilainya seperti seribu kata-kata. Kalau kita melihat satu gambar, kita bisa bisa menuliskannya jadi cerita yang panjang. Tapi sebaliknya saya katakan, ‘a sound is word - ten thousands pictures.’ Suara bisa menggambarkan macam-macam gambaran di pikiran kita. Suara itu begitu powerful-nya, demikian kuatnya.”
Ia juga menekankan, improvement melalui radio lebih dalam dibandingkan dengan televisi yang audio-visual. “Tahun lalu, ada 50 produk baru diluncurkan. Dan ada 3.000 judul iklan televisi baru ditayangkan. Bagaimana mungkin kita sebagai konsumen mampu mengingatnya?”
Berbekal data-data dari Initiative Media Indonesia, Sugiharso mengatakan bahwa, harga satu spot iklan di televisi dengan durasi 30 detik, rata-rata harganya bisa mencapai 30 juta rupiah. “Bayangkan bila sebuah spot iklan yang dipasang di sebuah program sinetron, yang jumlah durasi iklannya lebih panjang dari durasi sinteronnya,” katanya, seraya menjelaskan, iklan tersebut akan bersaing dilihat dan diingat dengan sekitar 68 spot yang lain. “Apakah kita akan bisa mengingatnya?”
Ada pernyataan, kalau sebuah iklan seharga Rp 30 juta hanya untuk 30 detik di televisi, pasti kalau di radio iklannya bisa disiarkan entah sampai berapa kali, sehingga memperbesar kemungkinan sebuah iklan dapat diingat oleh pendengarnya. Ini karena kisaran harga iklan di radio Rp 10.000 sampai 500.000 per spot (60 detik). Jadi, kalau Rp 30 juta untuk televisi = 1 spot (30 detik), untuk radio = 120 – 6000 spot. Bisa dibayangkan kalau satu hari, spot tersebut diputar dengan frekuensi 10 x per hari – ini frekuensi yang terbilang heavy di radio – berarti iklan tersebut bisa diputar selama 12 hari – 20 bulan.
Chandra Novriadi menjelaskan, “Orang pasang iklan yang dibayar bukan hanya biaya moneternya. Ada biaya waktu, biaya tenaga, biaya psikis.” Ia menceritakan juga, beberapa bulan lalu ia mengurusi proyek iklan P&G dari Starcom. Agak kaget dia waktu melihat bukti siar iklan radio bertumpuk memenuhi gudang di gedung Kreasindo Jakarta, tempat Starcom berkantor. “Harga radio memang lebih murah sebetulnya. Cuma total biayanya jadi lebih mahal karena ada biaya kesel, ada biaya emosional, ada biaya waktu, ada biaya macem-macem yang lain.”
Saya jadi teringat lagi Gunadi Sugiharso. Katanya, adalah suatu harapan bila radio dapat memanfaatkan fasilitas internet secara maksimal untuk proses pemesanan dan pelaporan penyiaran iklan di radio. Dengan demikian, pengiklan dan perusahaan periklanan tidak terlalu direpotkan dengan kertas-kertas laporan penyiaran iklan yang memakan tempat dan tenaga untuk membaca dan memeriksanya.
Sugiharso menggarisbawahi untuk tidak menyamakan antara karakteristik televisi dan radio. Yang dicari pengiklan di televisi adalah programnya, sementara radio yang dicari adalah radionya. Ia sendiri merasakan kalau radio mempunyai kedekatan dengan pendengarnya. “Lebih penting bagi kawan-kawan radio untuk mengenali pendengarnya atau calon-calon pendengarnya dengan baik. Karena dengan kita mengenal pendengar kita, kita bisa menempatkan radio menjadi lebih dekat lagi dengan pendengar, dan pendengar akan lebih loyal lagi kepada radio kita”.
Gagasan yang dilontarkan Sugiharso tentang perlunya radio meningkatkan diri dan mendorong perusahaan riset untuk memproduksi lebih banyak data pendengar radio, sangat menarik untuk diberi perhatian. Menurutnya, data radio yang hanya dibuat satu kali dalam satu tahun, perlu ditambah frekuensi dan materinya. “Untuk itu kita perlu bergabung untuk membuat suatu riset untuk pengembangan radio. Dalam hal ini diperlukan kebersamaan dan juga perlu seorang ahli riset untuk membantu kita dalam pencanangan rencana ini.”
Ide yang senafas dengan Graham Mytton.
Saat lokakarya, Mytton menekankan perlunya industri radio bergabung dengan pengiklan dan lembaga riset seperti yang sudah dilakukan di beberapa negara Eropa, Asia dan Afrika dengan nama Joint Industry Committeess (JIG). Di Afrika Selatan, ada komite serupa dengan itu, yaitu All Media and Products Surveys (AMPS), di Zimbabwe ada Zimbabwe All Media and Products Surveys (ZAMPS) dan di Namimbia ada Namimbia All Media and Products Surveys (NAMPS).
Indonesia?
Versi lengkap dari artikel yang pernah terbit di Majalah Pantau Edisi 35, Februari 2003
favorite site: tribun-timur.com
No comments:
Post a Comment